Seratus Hari Kepergian Prof. Radi A. Gany


Oleh : M. Dahlan Abubakar

Ada yang sangat terasa janggal benar dengan Ramadan 1441 H ini. Selain terpaan wabah ‘Corona Virus Disease (Covid)-19' yang membuat aktivitas lumpuh, bagi saya dan juga banyak orang lainnya, adalah kehilangan yang luar biasa.

Biasanya, begitu akan memasuki Ramadan saban tahun, saya selalu mengirim pesan pendek “Selamat Memasuki Ramadan (dan Hari Raya Idul Fitri), semoga sehat selalu”. Kalimat saya ini sudah terlalu klise terkirim ke ponsel mendiang Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Radi Abdullah Gany, hingga 2019.

Namun, sejak 13 Februari 2020, ponsel saya tidak lagi mengirim pesan seperti itu kepadanya karena Allahi rabbi telah memanggil menghadap ke haribaan-Nya. ‘Innalillahi wa inna ilaihi rajiun’. Hari ini genap 100 hari kepergiannya. Terasa benar perubahan ini. 

Duka saya terasa berganda pada 13 Februari 2020 itu karena menerima kabar duka kepergiannya justru baru sehari tiba di kampung halaman untuk suatu kepentingan. Saya tidak menyaksikan wajahnya untuk terakhir kali, kecuali pada 30 Januari 2020 saat saya membesuknya 13 hari menjelang kepergiannya. 

Meski rada sering pulang kampung, tetapi  rasanya setelah purnabakti saya selalu ingin bertemu dan bersilaturahim dengan kedua orangtua yang mulai sepuh dan tinggal di ujung kampung, 55 km di sebelah selatan Kota Bima. Keduanya, pada tahun 2020 ini sama-sama menapakkan usianya pada angka 90. Ayah berusia 92 tahun dan ibu 90 tahun. Alhamdulillah.

“Apa sebenarnya resep sehat Pak Haji hingga dalam usia 92 tahun masih bisa beraktivitas ?,” pernah seorang orang tua, mungkin usianya 70-an tahun, bertanya kepada ayah dan kebetulan saya bersamanya.

“Selain tetap melaksanakan syariat agama dan berdoa, saya ini tidak pernah pusing dengan urusan orang lain. Tetap bekerja dengan urusan petani (setelah pensiun jadi guru 1988). Tidak pernah menggunjing dan tidak mau membebani perasaan dengan masalah yang bukan urusan sendiri,” balas ayah, yang rasa-rasanya saya juga mengalir dalam diri saya. 

Langgeng

Jika ada persahabatan  yang begitu langgeng antardua orang, mungkin salah satu di antaranya adalah hubungan silaturahim saya dengan almarhum Pak Radi. Saya menempati posisi yang begitu beragam di mata beliau sejak 1987, awal mengenalnya ketika mewawancarainya  setelah positif diangkat sebagai Bupati Wajo (1988-1993).

Mungkin saja ada segelintir orang yang akrab dengan seseorang selagi dia menjabat, tetapi saya justru terbalik. Setelah tidak menjabat lagi, saya dan beliau selalu salng berkomunikasi dan saling mencari.

Ketika menjabat, saya menganggap beliau adalah atasan saya dan beliau menempatkan saya sebagai bawahan secara proporsional. Bagi saya, beliau adalah orang tua. Tempat saya banyak belajar tentang filosofi dan kearifan hidup, antara lain tentang keadaban. Termasuk di dalamnya berkaitan dengan masalah kepemimpinan.

Salah satu yang saya amati adalah Pak Radi selalu memisahkan urusan kantor dengan masalah keluarganya. Saya menghitung dengan jari istrinya Hj Andi Dahlia pernah muncul di kantornya di Unhas selama 8 tahun lebih memimpin kampus merah.

Persoalan kepemimpinan ini saya sudah tulis dalam banyak bukunya, termasuk yang akan terbit berjudul “Prof. Radi A. Gany dalam Kenangan”. Pola kepemimpinannya yang selalu mau terjun ke lapangan, meskipun mungkin ada beberapa sisi lain kelemahannya, mengindikasikan beliau tidak ingin mendengar laporan asal bapak senang (ABS). Tetapi setiap gerak kepemimpinannya selalu memberikan pembelajaran yang berharga bagi setiap orang.

Ada yang menarik selama saya mendampingi beliau sebagai Kepala Humas Unhas. Suatu saat ada pejabat terasnya dengan emosional mengatakan mengundurkan diri. Di waktu senggang, terutama menjelang pulang, saya sering nongol di ruang kerjanya ketika beliau sedang seorang diri. Hal itu pun saya tanyakan.
“Nanti dia akan datang sendiri,” ucapnya pendek dan setelah saya memberanikan diri sentil masalah itu. Dan, saya ingat benar kemudian, sang pejabat itu datang sendiri minta maaf.

Sekali waktu ada bawahannya yang menempati posisi vital berkaitan urusan perjalanan para pajabat Unhas. Pada hari yang lain saya mendengar satu kalimat pendek tentang yang bersangkutan di ruang kerjanya ketika berdua.

“Mungkin dia kira saya tidak tahu. Nanti dia menyesal sendiri !,” ucap Pak Radi kepada saya dan kemudian itu terbukti.
Pertemanan saya dengan beliau membuat saya banyak mendengar, mengetahui, dan dari itu  banyak juga yang cukup saya  dengar dan hanya mengetahuinya.

Komunikasi saya selagi berdua, berubah menjadi dua orang bersahabat dekat ‘banget’. Dan, itu kemudian yang berubah total setelah Pak Radi berhenti dengan segala predikat penting yang melekat pada dirinya. Saya jadi teman bercurah kisah dan cerita.

Rasanya, memang tidak cukup ruang ini menulis silaturahim  saya dengan almarhum. Oleh sebab itu, saya tumpahkan seluruhnya di dalam buku yang sudah mulai dalam proses pengerjaan oleh salah seorang teman. 

Satu tempat tidur

Persahabatan saya yang bermula tahun 1987 itu berlangsung tanpa henti, meskipun Pak Radi sudah bukan siapa-siapa. Hanya satu kesyukuran saya selama interaksi akrab itu, terutama saat menjabat Rektor Unhas, tetap menjaga kepercayaan, yang jika melihat posisi itu, boleh saja saya manfaat untuk kepentingan diri sendiri.

Saya banyak mengurus masalah menerbitkan dan mencetak bukunya yang sebenarnya merupakan ‘lahan’ menggiurkan bagi seseorang untuk berbuat tidak jujur. Biaya cetak buku selalu saya tanyakan lebih dulu ke percetakan sebelum menyampaikan kepadanya. Begitu pun dengan ongkos kirimnya.  Syukur saya selamat dari ‘intaian’ penyakit yang banyak ‘disenangi’ orang ini, “mark up”.

Banyak peluang yang bisa saya gunakan untuk itu jika mau, seperti yang dilakukan oleh staf yang saya maksudnya sebelumnya. Saya pikir untuk apa ? Mengharapkan untung sesaat, tetapi seumur hidup dapat buntung karena tidak dipercayai seperti pesan mendiang A. Amiruddin.

Dalam relasi saya dengan beliau, masih ingat dua kali kami harus satu tempat tidur. Pertama kali di Timor Timor (Leste) tahun 1994, karena beliau katanya takut tidur sendiri semalam sebelum terbang kembali ke Makassar melalui Denpasar. Saat itu dalam kapasitasnya sebagai Pembantu Rektor I. Beliau atas nama Unhas  harus menyerahkan Tim Bakti Sosial Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA PBS) yang bertugas selama beberapa minggu di provinsi itu kepada Gubernur Timtim (waktu itu). Saya sempat menemaninya berkeliling Kota Dili, termasuk menyambangi tempat persembunyian Xanana Gusmao sebelum ditangkap di salah satu lereng bukit di pinggir Kota Dili.  

Kali kedua ketika menjabat Rektor Unhas saat berkunjung ke Bantaeng dan berdua menggunakan sedan dinasnya. Saya sudah lupa tahunnya. Bahkan, Pak Radi sempat kelakar ketika kami hendak membaringkan tubuhnya, Kebetulan di belakang bantal kepala tempat tidur ada foto pejabat tinggi provinsi bersama istrinya.

“Kau di depan yang itu, saya di sini,” kelakar beliau, minta saya tidur di depan foto sang gubernur.
Ini salah satu saja kisah kelakar beliau dari rentetan kisah yang sebagian besar terungkap di dalam buku itu kelak. 

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, di saat beliau punya cukup banyak waktu, tiba-tiba saja ponsel saya bergetar.
“Lagi  di mana ‘ki’ ?,” itu selalu terkirim melalui ponsel jadul saya, “Di Makassar ?, Kita di mana ‘ki’?,” tanya saya sambil bertanya balik dan begitulah ‘pronomina’ (kata pengganti orang atau benda) /ka/dan /ki/ yang kami gunakan.

“Di Jakarta ‘ka’. Kapan  ke Jakarta ?,” selalu pertanyaannya seperti itu yang mengindikasikan beliau ingin bercurah kisah  dan jalan-jalan di Jakarta bersama. Berkali-kali saya tiba-tiba terbang jika sudah ada pertanyaan seperti ini dan kebetulan juga saat saya tidak menjabat dan sudah purnabakti. 

Biasa di Jakarta,  kami ke toko buku dan ke Masjid Istiqlal. Saya sudah tiga empat kali ke masjid termegah itu bersama beliau, setelah pertama kali meliput Prof. Dr. Basri Hasanuddin, MA yang membawakan ceramah  Isra’ Mikraj di era Soeharto pada tahun 1990.

Ketika saya menjalani ujian promosi doktor 18 Mei 2018, tepat tiga hari puasa, Pak Radi hadir dan bertemu dengan teman main golfnya, adik Dr. H. Hamdan Zoelva, SH, MH yang mewakili keluarga dari Jakarta. Tidak saja hadir, tetapi beliau mendonasikan bahan berbuka puasa yang dibawa pulang undangan yang menghadiri ujian promosi. 

“Pak Radi itu betul-betul maniak golf,” kata Hamdan ketika sarapan di kediamannya Lebak Bulus Jakarta suatu hari. Rupanya, Hamdan pernah sama-sama main golf di  Batam kalau tidak salah dan itu awal keduanya kenal dekat. Apalagi, Hamdan tahu kalau saya sangat dekat dengan Pak Radi.

Kini, pria yang maniak golf itu sudah tiada. Bahkan, dalam kondisi kesehatannya yang menurun pun, beliau masih mengayunkan stik golf di Jakarta atau Makassar. Kalau tidak salah akhir-akhir tahun 2018 sebelum menjalani operasi itulah terakhir kali bermain golf, bertepatan juga saya di Jakarta dan sama-sama ke Istiqlal pada hari kedua. Waktu itu, saya menyusul ke Jakarta langsung ke Bekasi, kediamannya. Saat itu kami sempat ke Istiqlal untuk salat zuhur.

“Kapan ‘ki’ pulang ?,” tanya beliau begitu kami tiba di Bekasi lagi. “Ahad malam, karena Senin pagi ada jam mengajar di UMI,” jawab saya. “Kalau begitu, sama-sama ‘ki’ pulang,” kata beliau.

Ternyata, kedatangan saya ke Jakarta sekaligus menjemput beliau. Mungkin beliau merasa  sunyi sepi tinggal sendiri di Bekasi.

Kini terasa benar Ramadan kali ini
Tiada lagi kirim pesan lewat gawai. Ucap selamat Puasa dan Hari Raya Idul Fitri. Pada kepergiannya seratus hari. Al Fatihah... doa buat Prof. Radi.

Semoga saja arwah beliau diterima di sisi Allah SWT. Aamiin. (*)

(Makassar, 22 Mei 2020, tepat 100 hari kepergiannya.)