Kawasan Petak Sembilan Glodok, Saksi Bisu Sejarah Etnis Tionghoa

SOROTMAKASSAR -- Jakarta. Dari tahun ke tahun, setiap menjelang perayaan Imlek, kawasan-kawasan Pecinan di sejumlah kota besar Indonesia, pasti menjadi sorotan dan target publik untuk dikunjungi dan dijelajahi. Masyarakat luas hingga wisatawan manca negara seakan tak ingin melewatkan kesempatan untuk datang menyaksikan dan larut menikmati kemeriahan suasana yang kerap mempertontonkan tradisi budaya serta ritual keagamaan warga keturunan. Salah satu diantaranya adalah kawasan Petak Sembilan Glodok Jakarta yang diklaim sebagai saksi bisu perkembangan kehidupan etnis Tionghoa di ibukota negara ini.

Selain kini menjadi pusat perdagangan di wilayah Glodok, Jakarta Barat, kawasan Chinatown yang selalu ramai dikunjungi itu, juga dikenal sebagai destinasi wisata budaya yang menyimpan sejarah panjang mulai awal masuknya orang-orang Cina ke Indonesia hingga terjadinya asimilasi maupun akulturasi budaya mereka dengan penduduk asli setempat, yakni suku Betawi. Memang sudah sejak ratusan tahun silam masyarakat Betawi dengan warga keturunan yang bermukim di daerah ini hidup berdampingan dan membaur serta tumbuh berkembang hingga menciptakan sebuah kebudayaan baru.

Di mata publik yang pernah berkunjung kesana, kawasan Petak Sembilan Glodok terlihat luar biasa dan memberikan kesan sangat istimewa. Ini karena kentalnya jejak asimilasi budaya antara budaya Tionghoa dengan budaya lokal. Misalnya saja, terdapat sebuah bangunan gereja yang diperuntukan bagi kaum nasrani bersembahyang, namun penampilannya tampak lebih dominan bernuansa Cina. Kemudian pula, struktur dan desain dari bangunan-bangunan yang berderet di daerah itu cenderung berbeda dengan kawasan Pecinan lainnya yang tersebar di penjuru nusantara maupun di dataran Tiongkok sendiri.

Adanya perpaduan harmonis antara arsitektur lokal, Hindia Belanda dan Cina dalam setiap bangunan, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi kawasan Petak Sembilan Glodok. Struktur bangunan yang kokoh ala pemerintahan kolonial dengan penutup atap untuk daerah tropis ini, semakin terlihat manis dengan sentuhan ornamen Tionghoa yang hadir pada setiap bangunan. Nah, asimilasi budaya itu tidak berhenti sampai disini saja, sebab dengan adanya antrian sangat panjang di pelataran wihara saat Imlek, menunjukan bahwa penduduk lokal dan khususnya kalangan tak mampu, sudah sangat mengenal budaya bagi-bagi angpao.

Kawasan Petak Sembilan Glodok dulunya merupakan bekas tempat isolasi atau relokasi bagi kalangan etnis Tionghoa yang memberontak. Riwayatnya bermula setelah peristiwa kelam di tahun 1740 yang menelan korban jiwa sekitar 10.000 orang warga keturunan, pemerintahan di masa penjajahan Belanda tidak membolehkan lagi daerah Pecinan berada dalam tembok kota. Dan pada 3 Maret 1741, VOC memberikan sebidang tanah luas di bagian selatan tembok kota untuk dijadikan pemukiman warga Cina. Tanah milik Arya Glitok, seorang adiwangsa asal Bali itu, kemudian dikenal sebagai daerah Glodok, Jakarta Barat.

Sebagai kawasan Pecinan yang tersohor di ibukota, otomatis daerah ini mayoritas dihuni warga keturunan Tionghoa. Di bangunan rumah toko yang berderet di sepanjang jalan dalam wilayah tersebut, mereka tinggal di bagian lantai atas dan di lantai bawah dimanfaatkan ruang usaha dengan berjualan apa saja kebutuhan masyarakat. Itulah gaya hidup orang-orang Cina yang tidak suka hidup boros. Meski demikian, di beberapa jalan dan gang sempit yang saling menghubungkan di kawasan ini cukup banyak juga warga pribumi terutama dari suku Betawi yang bermukim dan hidup berdampingan secara harmonis.

Menjelajahi kawasan Petak Sembilan Glodok, pengunjung akan menelusuri sejumlah jalan dengan nama-nama jalan yang banyak mengandung nilai positif, seperti Kemenangan, Kesehatan dan Kebahagiaan. Masyarakat Tionghoa percaya dan meyakini pemberian nama yang bagus kemudian perubahan nama yang bagus, akan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang lebih bagus pula. Dan sejumlah bangunan kuno yang terlihat di sepanjang jalan yang dilalui, sebagian diantaranya diperkirakan sudah berusia ratusan tahun namun masih tampak kokoh dan terpelihara dengan baik.

Sebuah kompleks wihara didominasi warna merah menyala dan kuning emas sebagai simbol kemakmuran bagi etnis Tionghoa, berdiri megah di bagian ujung kawasan Petak Sembilan Glodok. Tempat sembahyang bernama Wihara Dharma Bhakti yang dikelilingi tembok dan pagar besi warna merah ini, lebih dikenal dengan sebutan Kelenteng Petak Sembilan. Pintu utamanya berada di bagian selatan dengan bentuk gapura naga merah, dan sebelah kiri gerbang berderet 3 bangunan kelenteng. Di pekarangan kedua, terdapat kelenteng utama menghadap ke selatan dengan 2 singa (Bao Gu Shi) yang konon berasal dari Provinsi Kwangtung, Tiongkok Selatan.

Wihara Dharma Bhakti dibangun tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen untuk memuja Dewi Kwan Im (Dewi Welas Asih). Awalnya disebut Guan Yin Ting atau Kwan Im Teng yang kemudian diserap ke Bahasa Indonesia menjadi kelenteng dan diberi nama Jin De Yuan. Ketika timbul pemberontakan besar di Batavia pada tahun 1740 klenteng ini hancur, dan baru dibangun kembali tahun 1755 oleh Kapten Oei Tjie yang kemudian memberi nama Kim Tek Ie (Kelenteng Kebajikan Emas). Akibat adanya larangan penggunaan nama-nama Tionghoa di tahun 1965, nama kelenteng kembali diubah menjadi Wihara Dharma Bhakti.

Selain tempat beribadah yang dikenal sebagai kelenteng multikultur, di kawasan Petak Sembilan Glodok juga ada bangunan gereja dengan gaya arsitektur yang khas Cina. Pembangunan Gereja Santa Maria De Fatima ini memanfaatkan sebuah gedung besar bekas kediaman seorang pejabat Tionghoa. Atapnya berbentuk Ian Boe Heng (ekor walet) yang dikawal sepasang Shi Shi (singa batu). Salah satu keistimewaan gereja itu, karena adanya inskripsi dalam bentuk aksara Tionghoa. Juga di bagian bubungan atap tertera daerah asal pemilik terdahulu, yakni Kabupaten Nan An, Keresidenan Quanzhou, Provinsi Fujian.

Tak jauh dari kompleks wihara dan bangunan gereja, terdapat Gang Pancoran yang setiap harinya berfungsi menjadi pasar. Gang sempit ini selalu ramai pengunjung dan padat dengan obyek-obyek menarik seperti toko pembuat kaligrafi Tionghoa, pabrik roti valnia, aneka pedagang makanan vegetarian, pedagang kancing hias, pedagang Pia Lau Beijing, dan bahkan ada warung mie Belitung yang sangat terkenal. Para pedagang di gang ini setiap harinya memulai aktivitas berjualan sejak subuh sampai sore dan bahkan kerap ada yang masih bertahan menjajakan dagangannya hingga malam hari.

Menyeberangi Gang Pancoran, pengunjung akan tiba di Gang Gloria yang terkenal dengan aneka ragam kuliner. Ketika hendak hendak memasuki gang ini, di pintu masuk kita disambut dengan pedagang-pedangan yang menjajakan permen dan manisan khas Tionghoa. Jika menelusuri lebih dalam di gang itu, bermacam-macam makanan khas Tionghoa dapat ditemukan dan dinikmati dengan harga terjangkau. Cuma saja aneka kuliner khas tersebut lebih dominan menggunakan bahan daging babi. Namun ada juga tersedia menu makanan yang menggunakan daging ayam atau menikmati kelezatan Soto Betawi. (jw)