SOROTMAKASSAR -- Makassar.
Lembaga Pemberdayaan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKSS) mengajak pengurus dan anggotanya nonton bareng Film Ati Raja di Sudio XXI Mall Panakukang Makassar, Jumat (08/11/2019) malam pukul 19.30 Wita.
Ketua LAPAKSS, DR. H. Ajeip Padindang, SE, MM bersama pengurus dan anggota LAPAKSS serta Tiem Ajeip Centre diantaranya Yudhistira Sukatanya, Syahril Patakaki, Dewi Ritayana, M. Idris, Sudirman, Jamal Andi dan Asisten Direktur I Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia (UMI) Prof. DR. Abdul Rahman Mus, SE, M.Si.
Film Ati Raja yang sejak Kamis kemarin sudah mulai ditayangkan di berbagai bioskop. Awak media mendapat ajakan untuk menyaksikan film tersebut. Film yang berdurasi satu jam lebih. Ini berkisah film biografi seorang seniman Ho Eng Dji. Ia adalah seorang penyair dan musisi Makassar yang lahir di Kassi Kebo tahun 1906 dan wafat tahun 1060 di Makassar. Dengan latar budaya kehidupan kaum Tionghoa peranakan yang hidup bergaul dengan harmonis dengan masyarakat Makassar.
Pada usia belia Baba Tjoi nama panggilan Ho Eng Dji sempat mengenyam pendidikan rendah di sekolah partikelir milik orang melayu Ince Bau Sandi di Makassar. Di sekolah itu dia mengenal sastra Melayu dan sastra Makassar serta belajar menulis lontara dan bahasa Makassar. Ketika Baba Tjoi menginjak usia remaja, ia menunjukkan bakat musik yang luar biasa bahkan ia mempopulerkan syair-syairnya melalui nyanyian dan musik daerah Makassar.
Pada tahun 1939 Ho Eng Dji memasuki studio rekaman “Canari” di Surabaya, pada kesempatan itu Ia merekam lagu-lagu Makassar ciptaannya. Hingga tahun 1942, Ho Eng Dji berhasil menyelesaikan rekaman musik daerah Sulawesi Selatan (bukan hanya Makassar tetapi juga Bugis, Mandar, dan Selayar). Sebanyak 3 album piringan hitam dalam kurun waktu 4 tahun.
Sebelum pecah Perang Dunia Kedua (1945) rekaman lagu Ho Eng Dji berhasil terjual sebanyak 20 ribu keping yang pemasarannya tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Malaysia dan Singapura. Lagu Ciptaannya yang populer hingga saat ini adalah adalah ATI RAjA, Sailong, Dendang-dendang, Amma Ciang dan lain sebagainya.
Sebagai manusia HED memiliki perjalanan hidup yang dinamis dengan berbagai lika-liku kehidupan. Ia berulang kali bekerja dalam bidang perdagangan tetapi pilihan hidupnya kemudiaan adalah bermain musik hingga akhir hayatnya. Meskipun ia tidak punya pendapatan tetap tetapi ia tidak pernah benar-benar melarat dan kesulitan dalam hal ekonomi.
Kehidupan asmaranya diwarnai oleh beberapa orang gadis yang bembuat hatinya berbunga-bunga meskipun pada akhirnya ia harus mengalami kekecewaan yang berulang. Meskipun pada akhirnya Dewa Asmara mempertemukannya dengan seorang perempuan yang telah pernah berumah tangga dan memiliki tiga orang anak.
Usai menyaksikan Film Ati Raja, Prof. Dr. Abdul Rahman Mus, SE, M.Si saat awak media menanyakan soal film tersebut mengatakan saya melihat film tadi sangat luar biasa. Karena mengangkat persoalan budaya Bugis-Makassar. Ati Raja sangat popular di Bugis-Makassar dan patut membesarkan budaya kita.
“Dari segi dialeg, mungkin kalau kita di Sulsel hal ini tidak jadi masalah. Tapi kalau skala nasional perlu sedikit nuansa-nuansa, meskipun hal ini sudah lama mengakar di budaya kita, akan tetapi perlu ada sentuhan-sentuhan yang lebih menasional,” pungkas Prof. Abdul Rahman sedikit mengkritisi Film Ati Raja. (rk)