BRIsat, Banking Satellite Pertama di Dunia (9)

Oleh : M. Dahlan Abubakar

Ramadan 2016, 18 Juni tepatnya, Asmawi Syam dan rombongan merupakan saat-saat yang mendebarkan. Hari ke-12 Ramadan, bertepatan Sabtu sore, merupakan saat peluncuran BRIsat yang akan menempatkan lembaga keuangan Indonesia yang berdiri 16 Desember 1895 di Purwokerto ini sebagai bank pertama di dunia yang memiliki satelit. Di Indonesia pada waktu yang bersamaan, kaum muslimin sedang menikmati makan sahur.

Ahad (19/6/2016) dinihari di Indonesia, Asmawi berada di Kourou, Guyana, Prancis. Menyebut Guyana, saya teringat sebuah buku berjudul “Bunuh Diri Massal di Guyana” yang saya baca sekitar akhir 1970-an atau awal 1980-an.

Pada 18 November 1978, pendiri “Peoples Temple’ (Kuil Rakyat), Jim Jones memimpin – tepatnya memanipulasi dan memaksa -- ratusan pengikutnya dalam bunuh diri massal di kelompok pertanian mereka di sebuah wilayah terpencil Guyana di Amerika Selatan.

Banyak pengikut Jones tanpa pikir panjang rela menelan pil beracun, sementara yang lain dipaksa melakukannya dengan todongan senjata. Jumlah kematian terakhir di Jonestow itu dalam musibah ini mencapai 909 orang, sepertiga di antaranya anak-anak.

Jim Jones adalah seorang pemimpin karismatik yang mendirikan Peoples Temple (Kuil Rakyat) -- sebuah sekte yang mendeklarasikan diri sebagai pecahan Kristen -- di Indianapolis pada 1950-an. Pada tahun 1965, ia memindahkan kelompok itu ke California Utara, menetap di Ukiah dan setelah 1971 di San Francisco.

Pada tahun 1970-an, sektenya dituduh oleh media telah melakukan penipuan keuangan, penganiayaan fisik terhadap anggotanya dan penganiayaan anak-anak.
Menanggapi kritik yang memuncak, Jones yang semakin paranoid mengundang jemaatnya untuk pindah bersamanya ke Guyana, tempat ia berjanji mereka akan membangun utopia sosialis.

Tiga tahun sebelumnya, sekelompok kecil pengikutnya telah melakukan perjalanan ke negara kecil untuk mendirikan apa yang akan menjadi 'Jonestown' di sebidang hutan di Guyana. 'Kota' itu diberi nama sesuai dengan pemimpin sekte mereka (Jones dan town yang berarti kota).

Namun, Jonestown sendiri tidak berubah menjadi surga yang dijanjikan oleh pemimpin mereka. Para anggota bekerja berhari-hari di ladang dan dijatuhi hukuman berat jika mereka mempertanyakan wewenang Jones. Paspor mereka disita, surat-surat mereka ditahan dan anggota-anggota didorong untuk saling memberi informasi dan dipaksa menghadiri pertemuan yang panjang dan larut malam.

Jones, yang pada saat itu dalam penurunan kesehatan mental dan kecanduan obat-obatan, yakin pemerintah AS dan lainnya tengah bertindak untuk menghancurkannya. Dia meminta anggota kuil untuk berpartisipasi dalam latihan bunuh diri tiruan di tengah malam.

Pada tahun 1978, sekelompok mantan anggota Kuil dan kerabat yang peduli dari anggota saat ini meyakinkan anggota Kongres AS, Leo Ryan, seorang Demokrat California, untuk melakukan perjalanan ke Jonestown dan menyelidiki permukiman tersebut.

Pada 17 November 1978, Ryan tiba di Jonestown bersama sekelompok jurnalis dan pengamat lainnya. Pada awalnya kunjungan berjalan dengan baik, tetapi hari berikutnya, ketika delegasi Ryan akan pergi, beberapa warga Jonestown mendekati kelompok itu dan meminta untuk keluar dari Guyana.

Jones menjadi tertekan karena pembelotan para pengikutnya, dan salah satu tangan kanan Jones menyerang Ryan dengan pisau. Anggota kongres itu melarikan diri dari insiden itu tanpa terluka, tetapi Jones kemudian memerintahkan Ryan dan teman-temannya menyergap dan membunuh di landasan terbang ketika rombongan legislator AS itu berusaha untuk pergi.

Anggota kongres Leo Ryan dan empat orang lainnya dibunuh ketika mereka naik pesawat sewaan. Kuburan beberapa korban anonim dari tragedi Jonestown yang dipulangkan dan dimakamkan di Oakland California (Wikimedia Commons). Di Jonestown, Jones memerintahkan semua orang berkumpul di paviliun utama dan melakukan apa yang disebutnya "tindakan revolusioner."

Anggota termuda dari Peoples Temple adalah yang pertama mati, karena orang tua dan perawat menggunakan jarum suntik untuk menyuntikkan campuran sianida yang kuat, sedatif dan jus buah bubuk ke tenggorokan anak-anak. Orang dewasa kemudian antre untuk meminum ramuan yang dicampur racun, sementara penjaga bersenjata mengelilingi paviliun sebagaimana ditulis ‘History.com’ dan dirilis ‘Liputan6.com’ (18/11/2019).

Ketika para pejabat Guyana tiba di kompleks Jonestown pada hari berikutnya, mereka menemukan tumpukan ratusan mayat. Banyak orang tewas dengan tangan mereka saling berpelukan. Beberapa penduduk berhasil melarikan diri ke hutan ketika bunuh diri terjadi. Sementara setidaknya beberapa lusin anggota ‘Peoples Temple’, termasuk beberapa putra Jones, selamat karena mereka berada di bagian lain Guyana pada waktu itu.

Tragedi Jonestown mengakibatkan kerugian nyawa terbesar dalam insiden tunggal yang disengaja, dalam sejarah kehidupan sipil Amerika Serikat -- rekor yang kemudian dipecahkan oleh tragedi teror 11 September 2001.

Kourou adalah tempat peluncuran satelit milik BRI itu adalah komune di Guyana Prancis yang merupakan kota utama di Distrik Kourou. “Di sinilah terletak Pusat Antariksa Guyana, Prancis, dan pelabuhan antariksa utama Badan Antariksa Eropa,” demikian yang dikutip dari Wikipedia.

Sekitar 60 km (37 mil) barat laut ibu kota Guyana Prancis, Cayenne, Sungai Kourou bermuara di Samudra Atlantik. Di mulut sungai ini terletak kota Kourou, yang dikelilingi oleh empat bukit : Carapa, Pariacabo, Café dan Lombard, dengan pegunungan Singes dan Condamine tidak jauh di belakang. Ada tiga danau dalam batas kota: Danau Bois Diable (di mana orang dapat mengambil pelajaran di jetski dan olahraga air lainnya).

Pantainya berpasir putih panjang dan beberapa singkapan berbatu membentuk garis pantai samudra, tepi sungai, dan semua titik pedalaman yang sebagian besar terdiri atas hutan bakau dan hutan hujan tropis yang lebat.

Kota ini memiliki populasi 25.685 jiwa pada sensus 2017. Penduduknya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok etnis dengan ukuran yang kira-kira sama : Masyarakat adat (kebanyakan Kalina - juga disebut Galibi), Creoles, Maroon (Boni dan Saramaka), Putih (kebanyakan Perancis, dari Metropolitan Perancis), dan orang asing (Brasil, Suriname, Hmong, Haiti, Guyana, dll.).

Guyana pada umumnya memiliki tingkat kejahatan yang tinggi dibandingkan sisa negara bagian Prancis Kourou yang memiliki rata-rata dua perampokan bersenjata sehari. Pawai yang memprotes tingkat rasa tidak aman yang tinggi yang dirasakan oleh sebagian besar penduduk diadakan di Kourou pada tanggal 27 Oktober 2006. Para pemilik toko keturunan Cina khususnya sering menjadi sasaran para perampok bersenjata, mesin kas mereka dikosongkan, dan beberapa produk dicuri.

Pusat Antariksa Guyana, di mana Badan Antariksa Eropa memulai misi, terletak sedikit di belakang dan di luar kota. Bagian dari kota dan pulau-pulau ditutup selama peluncuran roket. Begitu pun saat Satelit BRI akan diluncurkan aktivitas kota dihentikan. Saat yang dinanti-nantikan Asmawi bersama rombongan begitu menegangkan dan waktu menanti saat-saat yang bersejarah itu terasa begitu lama.

Meskipun demikian, di dalam dirinya tetap mengalir semangat yang membara akan keberhasilan peluncuran yang tinggal menghitung detik. Memang, Asmawi sempat cemas-cemas juga karena peluncuran sempat tiga kali tertunda lantaran alasan teknis.

Syukur, sore itu BRIsat “menikam” angkasa bagaikan kilat menyisakan asap tebal yang bersumber dari motor pendorongnya di bumi. Menuju orbitnya pada 150.5 derajat Bujur Timur, mengambang jauh tepat di atas langit Papua. Dengan posisi ‘stationare’-nya itu, BRIsat akan mampu menjangkau layanan 10.600 cabang, 236.039 saluran ‘outlet’ elektronik, dan hampir 60 juta nasabah BRI di seluruh tanah air.

Beberapa tahun sebelum peluncuran, tepatnya di awal rencana BRIsat, selalu saja ada pihak yang menyangsikan apa urgensi BRI harus memiliki satelit sendiri. “Pertama, BRIsat membantu BRI melayani masyarakat yang belum terlayani dan menjangkau wilayah yang belum terjangkau,” Asmawi berdalih.

Katanya lagi, ada begitu banyak ‘remote area’ (daerah terpencil) di Indonesia. Satelit adalah teknologi yang tepat untuk menjangkaunya. Apalagi dengan karakter negara kepulauan, fiber optik tidak saja memerlukan waktu lama dan kompleks menjangkau wilayah yang begitu luas, tetapi juga tidak lebih efektif.

Kedua, imbuh Asmawi, industri perbankan sudah memasuki era digitalisasi dan BRI harus mengambil posisi terdepan sebagai bank yang memiliki jangkauan terluas di Indonesia.

Dalam konsep marketing yang lama, sebutnya lagi, kita mengenal istilah ‘customer satisfaction’, bagaimana pelayanan ‘customer service’ bisa memberi kepuasan pelanggan. Di era digitalisasi, orang lebih puas jika bisa melayani dirinya sendiri. Perbankan pun demikian.

“Ke depan, pelayanan diarahkan agar nasabah puas melayani keinginannya sendiri. Lihat saja dengan kehadiran ‘mobil banking’ atau ‘internet banking’ atau QR code Link,” urai Asmawi.

Rupanya, peran teknologi BRIsat di era digitalisasi demi peningkatan layanan perbankan itu, menarik perhatian Presiden ke-3 B.J. Habibie. Kisah Asmawi, suatu hari pada Oktober 2016, tiga bulan setelah satelit diluncurkan, dia ditelepon Rubijanto, Sespri B.J.Habibie.

“B.J.Habibie mau ajak ngobrol di kediamannya,” begitu punya pesan tersebut yang mengindikasikan beliau ingin tahu lebih jauh tentang BRIsat dan pemanfaatannya untuk perkembangan ‘digital banking’.

Rupanya beliau tidak sekadar ingin berdiskusi, namun ingin melihat langsung dan berdialog dengan para ‘engineer’ muda BRI. Pada malam usai ditelepon, Asmawi memutuskan keesokan paginya, dia menjemput BJ Habibie dan mengajaknya langsung ke pusat kendali BRIsat dan Diklat Pengembangan IT BRI di Ragunan Jakarta. Tidak hanya di situ, Habibie juga diajak melihat layanan digital ‘branch’ di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Maka, hari agendanya berlangsung sehari penuh.

“BRI harus terus menerus membangun inovasi dalam pengembangan sistem digitalisasi,” begitu pesan Habibie yang masih diingat Asmawi sebagaimana diungkapkannya pada halaman 231.

Seperti biasa, Habibie selalu sangat bersemangat berbicara, terutama berkaitan mengenai pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

“Kehadiran teknologi bukanlah untuk menggantikan tenaga manusia. Justru, teknologi hadir membantu mempercepat dan mengefisienkan kinerja manusia sehingga SDM tetap dibutuhkan. Oleh karena itu, seorang harus meningkatkan kompetensinya agar bisa memanfaatkan teknologi untuk mendukung pekerjaannya,” kata pria kelahiran 25 Juni 1936 (kemudian meninggal di Jakarta, 11 September 2019 pada umur 83 tahun) tersebut.

Kehadiran teknologi, kata Habibie, akan bermanfaat memberikan nilai tambah (‘value added’), sehingga ‘value creation’ (penciptaan nilai) menjadi lebih baik. Inovasi dan pemanfaatan teknologi pada ujungnya akan bisa meningkatkan produktifitas.

Dalam kunjungan itu, Asmawi masih ingat Pak Habibie sangat antusias saat mencoba kecanggihan ‘smart table’ (meja pintar) layanan digital BRI. Apalagi, saat tahu jika aplikasinya di-‘develop’ (dibangun) oleh para ‘engineer’ muda BRI sendiri. Ternyata di antara mereka itu ada sebagai penerima beasiswa ‘The Habibie Center’.

Salah seorang di antaranya, Meiditomo Sutyarjoko, yang saat peluncuran BRIsat menjadi ‘Mission Deputy Director’ (Deputi Direktur Misi), wakil dari Hexana Trisasongko yang menjadi ‘Mission Director’ peluncuran.

“Sebagai ‘satellite banking’ pertama di dunia, BRIsat tentu sangat membanggakan. Tapi hal lain yang juga membanggakan adalah pengelolaanmya sepenuhnya dilakukan oleh anak bangsa,” pungkas Asmawi. (Bersambung)