Tangkap Tangan Terduga Korupsi Tidak Butuhkan Surat Perintah

SOROTMAKASSAR -- Jakarta. Ahli hukum pidana yang dihadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang praperadilan gubernur Aceh nonaktif Irwandi Yusuf mengatakan, tangkap tangan terduga korupsi (rasuah) tidak membutuhkan surat perintah penangkapan.

Pernyataan itu disampaikan oleh ahli hukum pidana dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muhammad Arif Setiawan dalam sidang praperadilan Irwandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (19/10).

Arif memaparkan, dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia tidak ditemukan istilah operasi tangkap tangan (OTT). Yang ada adalah tertangkap tangan dan penangkapan.
“OTT itu istilah media saja, yang disebut dalam Undang-Undang itu tertangkap tangan,” ucap Arif saat ditemui selepas sidang.

Menurut Arif, penyidik dapat melakukan tangkap tangan tanpa perlu ada surat perintah penangkapan, asalkan dalam waktu 1×24 jam, ada keputusan proses hukum terhadap terduga dilanjutkan atau dihentikan.

Ahli KPK itu menegaskan, seseorang yang menjadi objek tangkap tangan harus dibebaskan jika pihak penyidik tidak menemukan bukti yang kuat untuk melanjutkan pemeriksaan.

Dalam sidang praperadilan itu, tim Biro Hukum KPK turut menanyakan mengenai keabsahan surat perintah penyidikan (sprindik), jika ditemukan ada salah ketik yang tidak substansial.

Arif menanggapi bahwa secara umum adanya kesalahan pengetikan tidak membatalkan sprindik, kecuali kekeliruan itu menyasar keterangan yang substantif.

“Misalnya, putusan MA (Mahkamah Agung) terkait gugatan terhadap Yayasan Supersemar, harusnya ditulis miliar (nilai kerugiannya), tetapi ada salah ketik jadi cuma juta. Itu salah ketik, tetapi substansial,” sebut Arif.

Akan tetapi, ia menerangkan revisi atau tanda koreksi terhadap salah ketik tersebut merupakan hal yang biasa dilakukan dalam dunia peradilan.

“Kecuali dalam pembuatan akta dicantumkan keterangan tidak ada revisi, maka upaya koreksi yang dilakukan setelahnya menjadi tidak sah,” ungkap Arif.

Usai persidangan, kuasa hukum Irwandi memuji keterangan ahli, seraya menegaskan bahwa praperadilan merupakan bentuk pengawasan terhadap seluruh tindakan aparat hukum ke masyarakat.

“Aparat hukum dalam melakukan tindakannya itu tidak lepas dari pengawasan, mulai dari proses penyidikan, penyelidikan, penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka. Mekanisme semua itu harus jelas,” sebut Paparang.

Dalam kesempatan itu, ia kembali menyatakan bahwa tuntutan pihaknya adalah meminta agar majelis hakim PN Jakarta Selatan memeriksa prosedur penangkapan dan penetapan tersangka Irwandi. Paparang mengklaim bahwa aksi tangkap tangan yang dilakukan KPK ke Irwandi tidak sah secara hukum.

Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap gubernur nonaktif Aceh di Pendopo Gubernur sekitar pukul 19.00 WIB, 3 Juli.

Satu hari setelahnya, KPK menetapkan Irwandi sebagai tersangka dugaan suap pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018. (*aktc)