Andarias : Meski Pelaku Anak Dibawah Umur, Tetap Ditindaki Sesuai UU Perlindungan Anak

SOROTMAKASSAR -- Luwu Utara.

Kasus penganiayaan terhadap anak dibawah umur, ES (14) yang terjadi di Desa Pompaniki, Kecamatan Sabbang Selatan, Kabupaten Luwu Utara, Sulsel, sangat menyentak kita semua.


Kejadian tersebut dalam beberapa hari ini memantik makian dan kemarahan dimana-mana akibat video yang menyebar di media sosial.

Sebagian besar mengutuk perilaku dua siswi SMA di Walenrang Utara berinisial RR (16) dan IS (15) yang mengeroyok korban hingga menderita luka batin dan harus dirawat intensif di rumah keluarga.

Kemarahan dari banyak pihak ini dipicu oleh kekerasan pelaku yang dinilai diluar batas. Korban yang merupakan gadis berusia 14 tahun dan masih duduk di bangku SMP dinilai tidak pantas menerima kekerasan seperti itu.

Kemarahan juga datang dari pendamping hukum Lembaga Pemantau Kinerja Aparatur Negara (LPKAN), Andarias Tandilodi, yang kepada media ini, Rabu (01/05/2019) mengatakan, meski pelaku kekerasan juga anak dibawah umur, tetap harus dilakukan penindakan hukum.

Tentunya proses hukumnya sesuai dengan Perlindungan Anak yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan pelaku bisa juga dijerat dengan pasal 80 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak.

"Alasan keluarga korban menutup pintu damai untuk para pelaku, ini karena tindak kekerasan yang dilakukan para pelaku terhadap korban adalah diluar batas kewajaran, apalagi sampai menyebar di FB," tuturnya.

Karena kasus ini viral di media sosial dan menjadi perbincangan publik, para pelaku yang juga masih di bawah umur akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada korban. Namun di depan polisi, pelaku mengakui kesalahannya karena jengkel seperti banyak dibicarakan netizen di media sosial.

Kapolres Luwu Utara, AKBP Boyke FS Samola SIk, MH membenarkan kejadian tersebut dan mengatakan, kedua tersangka pelaku dijerat dengan Pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang ancaman hukumannya tiga tahun enam bulan penjara.

Kedua tersangka pelaku ini dinilai melakukan penganiayaan kategori ringan. Namun karena pelaku masih di bawah umur, sesuai dengan ketentuan UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dilakukan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Kejadian ini sepatutnya memberikan banyak pelajaran, baik kepada pelajar, guru maupun orang tua. Ini penting menjadi perhatian semua pihak agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari. Orang tua perlu diberi pembinaan agar anak mereka bisa terhindar dari kasus kekerasan dalam bentuk apa pun. 

Pengawasan orang tua kepada anak remaja perlu ditingkatkan agar mereka tidak terjerumus ke hal-hal yang sifatnya destruktif. Orang tua perlu lebih intens mengawasi perilaku anaknya, termasuk di media sosial. Sebab, bisa jadi sikap agresif, perilaku permisif, dan ketidakpedulian anak pada norma-norma atau hukum diperoleh melalui interaksi dengan berbagai jenis bacaan atau tontonan di media sosial. Minimnya interaksi antara orang tua dan anak patut diduga menjadi penyebab anak berperilaku agresif sehingga mudah melakukan tindak kekerasan.

Kasus yang menimpa ES ini sudah ditangani kepolisian. Terhadap korban, selain perlu segera menyembuhkan luka bathin dan fisiknya, juga perlu pendampingan intensif untuk memulihkan trauma psikologisnya. Selain itu, harus ada jaminan keamanan terhadapnya dikemudian hari. Adapun terhadap para pelaku, hak-haknya sebagai anak juga harus tetap dihormati. Perlakuan banyak pihak yang mem-bully pelaku di media sosial juga bukan langkah bijak. Apalagi menambahkan 'bumbu' berupa informasi yang menyesatkan.
  
Jikapun pelaku tidak bisa diproses hukum karena masih di bawah umur, minimal harus ada pelajaran yang dipetik untuk perbaikan regulasi kita ke depan. (yustus)