Hanya Gedung Yang Nyeni (Bahasa Betawi - Seni)

Oleh. Patta Nasrah

Pada sebuah kesempatan, almarhum mantan Ketua Dewan Kesenian Makassa Ridwan Efendi sempat berbincang dengan saya saat Pekan Seni Makasiswa (Peksiminas tahun 2008) di Makassar. Perbincangan itu sedikit beradu urat leher. Pasalnya sederhana, Ridwan agak tersinggung dengan pertanyaan saya soal besaran PAD Pemda yang dikeluarkan setiap tahunnya untuk DKM dan korelasinya dengan Lama Tinggal Wisatawan manca negara dan lokal akibat keberadaan DKM?

Sebagai dosen, Ridwan pasti tahu maksud pertanyaan saya. Tapi sepertinyanya tidak mau menjawab pertanyaan saya secara langsung bahkan dia berapologi dengan berbagai macam jawaban khas seniman Makassar. Yang bukan jawaban pertanyaan.

Pertanyaan terukur kedua yang butuh data existing conditions tanpa dikarang adalah berapa "patent" yang pernah dihasilkan oleh seniman Makassar yang didanai oleh DKM selama ini? Kedua pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh Ridwan. Tapi dari gesture nya saya tahu dia tidak mau menjawab!

Jadi teringat beberapa puluh tahun lalu ketika saya menulis disalah satu koran di Makassar, tentang pementasan salah satu seniman senior DKM saat pertemuan sastrawan Nusantara II. Saya menjadi pusat kemarahan semua senior DKM yang merasa dikritik pedas dengan tulisan itu. Sementara seminggu sebelumnya (alm) Udhin Palisuri sangat memuji pementasan itu.

Perbedaan persfektif antara Udhin Palisuri yang praktisi kesenian dengan saya yang teoritis akedemisi saat itu menjadi sebuah keniscayaan yang wajar! Dan diperlukan dalam dunia seni, semakin beragam interpretasi seni, semakin kelihatan keindahannya. Tapi yang namanya seniman puritan DKM sejak dulu tidak suka dapat kritik. Kita bisa menjadi musuh personal gara2 berbeda approach.

Berkesenian itu membangun egaliteriasm universal, bukan strereotip klik yang sektarian! Yang paling menyedihkan diantara mereka saling mendaulat sebagai "Jendral dan panglima" tapi siapa dari orang yang saling daulat itu yang karyanya diperbincangkan oleh masyarakat luas? Sangat berbeda dengan "Hamka" misalnya yang karyanya jadi bacaan wajib di negri jiran Malaysia tapi pernahkah kliknya mendaulat nya sebagai "nabi sastra" misalnya?

Sangat logis kalau ada salah satu organisasi underbouw politik di zaman orde baru yang sudah ditinggalkan kaumnya yang mewacanakan untuk menjadikan Societeit de Harmonie sebagai sekretariat bersama karena pengaruh DKM terhadap pengembangan kesenian di Makassar pada khususnya Sulsel secara umum.

Padahal DKM baru saja melangsungkan ulang tahun emasnya tahun 2019. Apa karyanya yang menumental berideologi dan berkarakter. Seharusnya DKM sudah terlalu tua untuk berkesenian yang sekadar ikut2an. Tidak ada warna tersendiri yang buat dia berbeda dengan yang lain.

Di zaman Ridwan Efendi saya belum pernah mendengar almarhum mengajak saya berdiskusi tentang konsep pengembangan kesenian bagai mana yang bagai mana DKM akan raih? Hanya proyek pagar saja yang ia pernah ceritakan. Sehingga sewaktu saya diminta untuk menulis dalam buku Ridwan Efendi Inmemorial saya tolak karena tidak tahu mau tulis apa?

Selama saya di Makassar, DKM melahirkan dua orang aktor dan aktris yang berkuatas hingga kini. Hanya dimasa Roland Ganemet jadi pelatih teater di DKM. Selebihnya peran komunitas saja yang ada, yang membangun kekuatan sendiri tanpa bantuan DKM. Kalau toh ada sekadar difasilitasi dalam bentuk fasilitas tempat latihan.

Dewan Kesenian Makassar mau jadi apa sebenarnya, penyewaan gedung pertunjukan atau event organizer. Ingat lembaga ini menyandang kata "dewan"? Sekali bersidang mungkin keputusannya menjadi arah kebijakan kesenian dan kebudayaan di Makassar. (*/rk)

Patta Nasrah, lahir di Makassar 29/10 1960. Menamatkan pendidikan S1 di Unhas dengan sikripsi "Absurdity on Albert Camus Novel, The Out Sider". S2 di UNM dengan judul tesis "Extensialism Novel". Pernah membantu Siaran Budaya di RRI Nus IV Ujungpandang. Pengurus Sanggar Merah Putih Makassar. Sekarang berdomisili di Kendari.