Opini : Professor Kok Mau Sumpah Pocong ?

Oleh : Mulawarman (Pengamat Sosial Politik dan Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

Sumpah pocong diceritakan M.C. Ricklefs di karyanya Mengislamkan Jawa (2012), adalah sebuah local wisdom masyarakat Jawa sejak masuknya Islam di tanah Jawa. Tujuannya untuk menyelesaikan persoalan yang tidak menemukan jalan keluar, dan mencari kebenaran dan pengakuan dari individu masyarakat di Jawa.

Tradisi itu diperkirakan dimulai ketika kerajaan-kerajaan atau keraton-keraton di Jawa, setidaknya era pasca kerajaan Majapahit, ketika masyarakat Jawa berupaya mendamaikan tradisi Jawa dengan ajaran atau nilai-nilai Islam, agama yang baru masuk dan berpengaruh di Jawa.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan, tradisi atau budaya sumpah pocong itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Jawa tempo dulu. Ketika masyarakat di Jawa baru mengenal Islam. Di zaman dimana lembaga-lembaga pengetahuan dan hukum (adat) masih sangat minim atau bahkan mungkin belum ada.

Di zaman dimana masyarakat Jawa belum banyak memiliki manusia yang berilmu atau berpengetahuan. Sehingga masyarakat Jawa ketika itu belum menjadi masyarakat yang rasional.

“Lha kalau sekarang masih ada yang mau lakukan sumpah pocong. Itu pasti orang yang putus asa, tidak percaya hukum, dan pasti dia bukan bagian dari masyarakat yang rasional,” jelas Gus Dur (Jawa Pos).

Emile Durkheim salah satu pemikir di era pencerahan, era dimana ilmu pengetahuan ditemukan tak habis-habisnya oleh manusia, menjelaskan kalau pelanggaran komitmen terhadap gagasan, tidak memerlukan sumpah.

Karena sumpah tidak mencerminkan komitmen terencana masyarakat berpengetahuan, terhadap satu-satunya keyakinan. Keyakinan, akan ilmu pengetahuan dan sains, bisa memberikan pandangan, cara dan solusi memahami masalah secara otentik dan keluar dari masalah dengan mengubahnya menjadi sesuai dengan aspirasi manusia.

Jauh sebelum Aristoteles dalam – Nichomachean Ethics - menyatakan tidak akan ingkar pada komitmen (bersumpah) adalah sikap manusia yang sedang menolak daya tarik dan keuntungan potensial dari ilmu pengetahuan.

Tesis kedua pemikir yang beda zaman itu, Aristoteles dan Durkheim menunjukkan ke kita. Bahwa ilmu pengetahuan, memberikan potensi solusi seluas-luasnya, untuk menyelesaikan masalah. Kata, Plato, orang yang berilmu pengetahuan selalu berkeyakinan optimis, bukan sebaliknya berpikir berkeyakinan pesimistis.

Lantas mengapa seorang Gubernur yang sangat berilmu pengetahuan seperti Prof Dr Nurdin Abdullah, berkeyakinan pesimis sehingga masih mencari solusi dengan cara bersumpah pocong ? Mau dikafani laiknya mayat, kemudian bersumpah ?

Prof Andalan Nurdin Abdullah yang sangat terpelajar (Prof itu), awal pekan ini, menyatakan tuduhan penulis tentang dia mengenal dan meminta 2 pengusaha menemui Jumras, Kepala Biro Pembangunan Pemprov Sulsel yang dicopotnya dengan tidak terhormat adalah bohong, dan karena itu Prof Dr Nurdin Abdullah mau membuktikannya dengan sumpah pocong, kalau itu tidak benar.

Jeremy Bentham di karya fenomenalnya – Priciples of the Civil Code – mengatakan, demokrasi menghasilkan pula berbagai individu yang berhasrat berlebihan, sehingga mampu memanipulasi pengetahuannya, untuk memenuhi hasrat berlebihannya. Invidu ini, potensial menjadi aktor atau elit mayarakat yg otoriter, tiran dan menjadi kaum oligarki.

Atau kata konsep sosiolog Nietzsche di bukunya The Geneology of Morals, pengetahuan kekuasaan, membuat individu berpengatahuan, melakukan penipuan-penipuan diri (deception and self-deception) untuk mempertahankan kelangsungan berkuasa.

Apakah Prof (maha terpelajar) Dr Nurdin Abdullah, masuk di klasifikasi Jeremy Bentham atau Nietzsche ? Penulis tidak bisa serta merta menempatkan klasifikasi Nurdin Abdullah di Jeremy atau Niets. Tetapi penulis yang tertuduh melakukan kebohongan publik oleh orang yang maha terpelajar dan handal itu, saya bisa memastikan Nurdin Abdullah sedang mencoba ‘menipu’ saya untuk mempertahankan kekuasaanya yang tergoyahkan oleh tulisan penulis – Nurdin Abdullah, Anda bukan lagi pemimpin.

Nurdin Abdullah sedang memberi kode sumpah pocong ke rakyat Sulsel, untuk mempertahankan kuasa dan kekuasaannya. (*)