Hidup Dalam Resiko Gempa, Tinjauan Aspek Struktural Bangunan Dampak Gempa

Oleh: Dr. Ir. Ayuddin, ST, MT, IPM, ASEAN Eng
(Dosen Tehnik UNM)

Penulis tidak bermaksud mempermasalahkan siapa pun atau institusi mana pun dalam peristiwa gempa Majene Sulawesi Barat, Jum’at 15 Januari 2021 pukul 02.28 Wita dini hari berkekuatan magnitudo 6.2, berpusat enam kilometer timur laut Kabupaten Majene 2.98 LS-118.94 BT pada kedalaman 10 kilometer (BMKG).

Kejadian gempa bumi ini memberikan efek kerusakan yang sangat tajam dengan merusak bahkan merobohkan beberapa bangunan berlantai.

Salah satu bangunan yang roboh adalah Kantor Gubernur Sulawesi Barat, Hotel Maleo, Rumah Sakit Mitra Manakarra, Kantor Dinas, dan sejumlah rumah hunian masyarakat.

Kejadian ini tak ada yang dapat dipermasalahkan karena mekanisme terjadinya suatu gempa bumi tektonik sangat kompleks dan mengandung parameter non linier yang tak terhingga. Maka prediksi tentang kapan (hari, jam) dan di mana suatu gempa tertentu akan terjadi belum ada formulasinya.

Gempa ditentukan berdasarkan kerangka probabilitas dan periode ulang kejadian (return period). Dengan demikian untuk mitigasi korban jiwa akibat gempa bumi, maka penulis menyarankan bahwa sebelum mendirikan suatu struktur (gedung, jembatan, rumah tinggal, dinding penahan tanah, dermaga dll) harus mengadopsi konsep tentang resiko gempa bumi, sekaligus hanya pada taraf minimal perkuatan struktur yang bertujuan untuk mencegah terjadinya korban jiwa (life safety). Dengan tulisan ini ingin berbagi bahwa dalam suatu bangunan akan selalu didahului dengan perancangan dan analisis strukturnya.

Model Struktur Bangunan;

Perancangan Model bangunan yang tahan gempa diarahkan untuk memilih model yang sederhana dan simetris. Model simetris ini lebih kuat menahan gaya gempa dibandingkan dengan model tidak simetris.

Model bangunan tidak simetris perpindahan gaya lateralnya akibat gempa lebih banyak dibandingkan dengan bangunan simetris karena bangunan tidak simetris bersifat tidak teratur dan rentan terhadap torsi yang lebih tinggi.

Jadi, pemilihan model yang sederhana dan simetris resiko gempanya lebih rendah dan dapat menjaga gaya terdistribusi secara merata melalui struktur. Oleh karena itu, dalam membangun diharapkan menghindari model tidak simetris.

Keruskaan struktur akibat gempa bumi umumnya dimulai di lokasi bidang lemah struktural bangunan yang memicu terjadinya kerusakan parah yang pada akhirnya menyebabkan runtuhnya struktur bangunan. Selanjutnya, pada perletakan posisi tiang sebagai penyangga (kolom bangunan) harus seimbang disertai model atap yang menyatu dengan sambungan yang kuat, juga pondasi yang cukup dalam dan dimensi kuat sesuai dengan hasil penyelidikan tanah.

Tidak saja mengacu pada model struktur saja, akan tetapi pemilihan bahan-bahan campuran beton dan ukuran besi yang digunakan (untuk bangunan beton bertulang) harus memenuhi syarat SNI yang telah ditepakan oleh para ahli struktur Indonesia.

Penggunaan baja tulangan pada pondasi, sloof, kolom (sambungan kolom) bahkan begelnya pun harus tepat ukurannya sesuai dengan perhitungan strukturnya.

Metode Analisis Struktur

Alangkah bijak jika selalu belajar pada setiap kejadian gempa bumi yang berefek pada suatu bangunan yang roboh, baik kejadian dalam negeri maupun luar negeri.

Metode dalam analisis struktur suatu bangunan apatahlagi bangunan berlantai adalah menjadi penentu dalam melahirkan detailing elemen struktur.

Kehati-hatian dalam memilih metode analisis struktur sangat utama bahkan bisa fatal jika salah dalam memilih suatu metode. Metode yang selama ini digunakan oleh analist struktur adalah metode berbasis gaya kekuatan (dalam rujukan SKBI 87, SKSNI-91, dan SNI-2002).

Metode ini pernah populer beberapa tahun bahkan menjadi senjata ilmu yang ampuh dalam menganalisis suatu struktur bangunan. Namun, setelah kejadian beberapa kali gempa bumi yang merobohkan bangunan seperti yang pernah terjadi di pantai barat Sumatera, pantai selatan jawa, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian, Flores dan kejadian gempa bumi yang sangat dasyat pernah terjadi di luar negeri seperti Loma Prieta 1989, gempa Northridge 1994 dan gempa Kobe 1995 di Jepang.

Kejadian gempa bumi ini menjadi bahan renungan bagi para ahli struktur dunia karena seolah hasil hitungan dalam suatu metode yang diterapkan menjadi sia-sia karena bangunan ambruk tiba-tiba dan menelan korban jiwa manusia yang sangat besar saat dilanda gempa kuat.

Analisis yang diterapkan itu adalah analisis berbasis gaya kekuatan. Oleh karena itu, penulis menyarankan untuk tidak menerapkan hitungan struktur bangunan berbasis gaya kekuatan karena terbukti kurang memuaskan dan sudah tidak relevan lagi untuk kondisi sekarang yang banyak kejadian gempa terjadi di lokasi rawan gempa karena metode ini dianggap tidak mampu mencapai taraf kinerja (performance) yang ditentukan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode klasik ini tidak mampu memitigasi efek gempa (keruntuhan bangunan, jalan, jembatan, korban jiwa, dll).

Metode analisis yang sangat relevan diterapkan di Indonesia untuk gedung di atas 1 lantai dan daerah-daerah dengan taraf gempa yang cukup tinggi seperti daerah Pantai barat Sumatera, pantai selatan jawa, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Irian, Flores adalah metode berbasis kinerja (performace). Metode berbasis kinerja bertujuan menghasilkan struktur yang memiliki hasil yang dapat diprediksi jika terjadi gempa bumi.

Parameter yang menentukan adalah tujuan kinerjanya. Sebuah bangunan dapat dirancang berdasarkan satu atau beberapa tujuan kinerja misalnya pada bangunan rumah tinggal dapat dirancang untuk dua tujuan kinerja yaitu bangunan beropresi penuh, tidak ada kerusakan yang terjadi, layanan berkelanjutan dengan gempa bumi intensitas rendah dan tinggi. Tujuan kinerja selanjutnya adalah ingin mencapai pencegahan keruntuhan pada gempa intensitas rendah dan tinggi.

Maka, kerusakan pada konstruksi dibolehkan terjadi, akan tetapi tidak membahayakan nyawa bagi penghuninya dan dapat dilakukan kembali perbaikan konstruksinya.

Bangunan Berbahan Tradisional Bambu dan Kayu

Bangunan berbahan bambu dan kayu dapat menjadi solusi alternatif pada wilayah yang memiliki intensitas gempa yang cukup tinggi termasuk daerah Sulawesi Barat. Bambu adalah bahan bangunan alami terbarukan yang tumbuh paling cepat, masih tersedia dan ramah lingkungan bahkan kulitnya yang matang menjadi tulangan yang kuat untuk menahan beban struktur secara vertikal maupun horizontal.

Secara struktur, bahan bambu mudah ditekuk, memberikan bentuk yang diinginkan dan dapat menyediakan sambungan agar sesuai dengan konstruksi. Elastisitasnya yang luar biasa membuatnya menjadi bangunan yang dapat tahan terhadap goncangan gempa bumi.

Saat gempa bumi terjadi, konstruksi bambu dan kayu mengalami pergerakan goyangan yang sangat sedikit dibandingkan dengan bahan beton bertulang maupun konstruksi penuh baja tulangan karena massa yang dihasilkan lebih sedikit untuk menimbulkan tekanan pada struktur.

Sifat bambu dan kayu sebagai bahan bangunan sudah dikenal selama berabad-abad yang lalu. Populer dengan ringannya, kuat, terjangkau dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan solusi untuk kebutuhan konstruksi pada daerah atau lokasi rawan gempa.

Namun, dalam memanfaatkan material bambu dan kayu ini perlu dirancang model konstruksi yang tepat, sederhana dan memperhatikan model pondasi, pola sambungan pada kolom, balok, dan atapnya. Perilaku struktur yang tahan gempa juga sangat tergantung pada kemampuan koneksi sambungannya dalam menahan beban gempa secara lateral.

Oleh karena itu, sambungan pada penggunaan konstruksi material bambu dan kayu memainkan peran kunci dalam menciptakan konstruksi tahan gempa.

Maka, tidak ada salahnya jika kita beralih membuat rumah hunian atau bangunan sederhana di tempat daerah rawan gempa dalam upaya penyelamatan jiwa jika setiap saat terjadi gempa bumi. Struktur konstruksi ini dapat berkinerja baik dalam menahan gerakan tanah yang intens. (*)