Pernikahan Dini dan Tantangan KIE

Oleh : M. Dahlan Abubakar (Ketua IPKB Sulsel)

HARIAN “Fajar”, Rabu (04/11/2020) menurunkan satu berita utama di halaman 12 Metro Gowa-Maros berjudul “Pernikahan Dini Melonjak Drastis”. Humas Pengadilan Agama Maros Arief Rida mengatakan, pada periode Januari-Oktober 2020 jumlah permohonan nikah anak di bawah umur (dispensasi) yang diterima 203 perkara. Tahun 2019 hanya 60.

Salah satu faktor penyebab yang paling dominan meningkatnya permohonan dispensasi adalah perubahan batas umur pada undang-undang (UU). Pada UU Nomor 1/1974 pasal 7, batas usia pernikahan bagi perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun berubah pada UU No.16 Tahun 2019 yang menetapkan usia menikah perempuan dan laki-laki disamakan minimal 19 tahun.

Berkaitan dengan usia pernikahan ini ada batas yang tidak seragam kita temukan antara sesuai UU, pernikahan ideal versi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan berdasarkan Islam. Usia ideal pernikahan versi BKKBN, 21 tahun bagi perempuan dan laki-laki berusia 25 tahun.

Sementara menurut Islam perempuan boleh menikah jika sudah mengalami haid yang biasanya terjadi pada usia 17 atau 18 tahun. Sementara laki-laki disebut memasuki masa akil balig sekitar 18 atau 19 tahun sesuai Imam Abu Hanifah. Namun akil balig menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI) laki-laki berumur 15 tahun ke atas).

Tertinggi

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, persentase pernikahan usia dini di Indonesia 15.66% (2018), naik dibandingkan pada tahun 2017 sebesar 14,18%. Peningkatan persentase pernikahan dini ini menempatkan Indonesia peringkat kedua tertinggi di ASEAN, setelah Kamboja.

Deputi Menteri Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Bidang Tumbuh Kembang Anak, Lenny M.Rosali dalam suatu webinar 8 September 2020 menyebutkan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum usia 18 tahun pada tahun 2019 menempatkan Provinsi Kalimantan Selatan berada di peringkat teratas dengan 21,2% anak menikah pada usia 18 tahun.

Terdapat 22 provinsi yang persentase pernikahan anak sebelum usia 18 tahun yang menempatkan Sulsel 12,1% pada urutan ke-20. Setelah Kalsel, berturut-turut Kalsel 20,2%, Sulbar 19,2%, Kalbar 17,9%, Sultra 16,6%, Sulteng 16,3%, NTB 16,1%, Bangka Belitung 15,5%, Jambi 14,8%, Maluku Utara 14,4%, Sulut 13,5%, Sumsel 13,5%, Bengkulu 13,2%, Papua Barat 13,2%, Gprontalo 13,2%, Kalimantan Utara 12,9%, Kaltim 12,4%, Jabar 12,3%, Sulsel 12,1%, Papua 11,2% dan Jatim 11,1%.

Memberi kesadaran akan pentingnya anak tidak terjebak dalam pernikahan dini memerlukan kepedulian semua pihak, tidak hanya mengandalkan kepada BKKBN saja. Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya pernikahan dini. Yang paling dominan adalah faktor tradisi (adat). Anak-anak segera dinikahkan dengan harapan cepat memperoleh momongan dan dianggap mendatangkan rezeki karena berpikir setiap anak memperoleh rezeki yang berbeda,

Faktor lain, masalah ekonomi sebab ada anggapan dengan menikah beban keluarga berkurang dan rezekinya bertambah. Tingkat pendidikan sangat menentukan untuk mempertimbangkan seseorang menikah. Oleh sebab itu, sejatinya pemahaman akan pentingnya usia pernikahan ini harus digencarkan melalui lembaga pendidikan.

“Penyebab lain terjadinya pernikahan dini adalah faktor hasrat pribadi. Seseorang merasa dalam dirinya sudah mampu menikah pada saat usianya masih muda karena untuk mencegah perzinaan terhadap lawan jenis,” tulis Wiwin Sundari dan Harlindahan Nur, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam makalahnya tahun 2011.

Faktor lain, sebut keduanya, karena terjadinya “kecelakaan” yang dialami perempuan dalam usianya masih muda. Pemahaman agama yang rendah dari para orang tua juga cenderung membiarkan anaknya segera dinikahkan.

Lintas Sektoral

Kepala BKKBN Pusat Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OK (K) kepada pers di Kantor Perwakilan BKKBN Sulsel 27 Oktober 2020 mengatakan, BKKBN harus memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) dengan sebaik-baiknya karena tenaga yang ada banyak memasuki masa purnabakti. Pada tahun 2021 disiapkan anggaran Rp 400 miliar bagi Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) tingkat kabupaten/kota.

“Sebanyak 80% dana BKKBN diperuntukkan bagi kegiatan komunikasi, edukasi, dan informasi (KIE) yang merupakan kunci suksesnya mengubah “mindset” (sikap) masyarakat, terutama pasangan usia subur dalam menunda usia pernikahan,” kata Hasto Wardoyo yang didampingi Kepala Perwakilan BKKBN Sulsel Dra. Hj. Andi Ritamariani, M.Pd.

Peluang mengubah sikap perempuan yang belum kawin cukup terbuka karena sekitar 25% dari mereka tak ingin hamil dan belum ber-KB. Kelompok ini memerlukan media guna memberi penyadaran agar menunda usia pernikahan dan hamil mereka.

Salah satu media yang dapat digunakan melaksanakan KIE ini adalah Kampung Keluarga Berkualitas, menggantikan nama Kampung Keluarga Berencana sebelumnya. Di Kampung KB ini bertemu pemangku kepentingan secara lintas sektoral. Khalayak yang bertemu di tempat ini hendaknya merupakan para orang tua yang memiliki anak remaja di kampus tersebut.

Kampung Keluarga Berkualitas ini diarahkan untuk menciptakan keluarga yang mandiri, tenteram, bahagia, dan sejahtera. Keluarga kita mampu mandiri, kata Hasto Wardoyo, tetapi masih terbatas ingin prestise belum diarahkan mencapai prestasi.

Keluarga seperti ini masih berorientasi gengsi. Misalnya jika memiliki uang mereka lebih memilih miskin dengan membeli mobil daripada menabung untuk kepentingan yang lebih mendesak.

Di Kampung KB tempat instansi lintas sektoral bertemu dan melaksanakan kegiatannya banyak program yang dapat dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya masing-masing.

Sebab program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) diarahkan agar keluarga mempunyai rencana berkeluarga, memiliki anak, pendidikan, dan sebagainya sehingga pada akhirnya akan terbentuk keluarga-keluarga berkualitas. Tugas ini merupakan beban dan kewajiban semua instansi pemerintah yang ada.

Di tengah pengaruh faktor teknologi informasi yang berujung sebagai penyebab terjadinya pernikahan dini, tantangan yang dihadapi BKKBN memang tidak ringan. Selain memberi pemahaman akan pentingnya tercipta keluarga berkualitas melalui rangkaian beragam programnya, juga dihadapkan kepada upaya untuk memperbaiki kualitas awal tumbuh penduduk agar terhindar dari “stunting”, yakni kondisi gagal pertumbuhan pada anak akibat kekurangan gizi.

Oleh sebab itu, pelaksanaan KIE harus digencarkan pada seluruh lini dan ruang. Forum-forum yang memberi ruang berkumpulnya orang secara masif hendaknya juga diberikan kepada organ mitra BKKBN menyampaikan pesan Bangga Kencana di dalamnya. Mungkin yang terasa kurang selama ini, menitipkan program KIE melalui para khatib, terutama secara periodik. Misalnya pada saat bulan diselenggarakan Hari Keluarga Nasional (Harganas).

Tentu saja, program seperti ini karena sangat teknis instansional diperlukan kebijakan pemerintah daerah. Dulu kita pernah mengenal ada khutbah seragam memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan, mungkin tidak ada salahnya khutbah seperti itu juga dapat dititipkan berkaitan dengan Harganas. (*)