Refleksi Hari Bayangkara 2020 : Mengenang Hoegeng Iman Santoso (1)

Dari Bugeng ke Hoegeng

Oleh : M. Dahlan Abubakar

Pengantar :
Hari ini, jajaran Kepolisian Republik Indonesia memperingati Hari Bhayangkara. Memperingati hari Bhayangkara tersebut, kita mengenang seorang Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Pol. Hoegeng Imam Santoso.

Kalau ada orang berbicara mengenai sosok polisi jujur dan paling dikenang, maka salah seorang di antaranya adalah Hoegeng Imam Santoso, pria kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921.

Kedua orangtuanya masih berkerabat dengan Ibu Kardinah, adik pahlawan nasional R.A. Kartini. Ayahnya, Soekarjo Kario Hatmodjo asal Tegal seorang jaksa di Pekalongan, dan ibunya, Oemi Kalsom asal Pemalang. (*)

Tulisan ini disarikan dari buku karya Aris Santoso dkk berjudul “Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif para Pemimpin Bangsa” yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang Yogyakarta. Yang saya miliki cetakan III Juni 2009.

Hoegeng, sulung dari tiga bersaudara. Dua adiknya perempuan. Dia lebih dikenal dengan nama Hoegeng. Muasal namanya juga lucu. Ketika masih kecil, dia dijuluki si “bugel” (gemuk), artinya, seperti ubi mengeram di dalam tanah.

“Panggilan tersebut berubah jadi “bugeng” lalu “Hugeng” (ejaan Van Ophuysen “Hoegeng”). Setelah namanya berganti, aneh juga, postur Hoegeng sejak remaja hingga dewasa tidak pernah gemuk,” tulis Aris Santoso dkk.

Hoegeng mengenyam pendidikan Hollandsch Inlandsch School (HIS) setingkat sekolah rakyat (1934) lalu melanjutkan pendidikan ke Mee Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setingkat SMP, tamat 1937, di Pakalongan. Dia melanjutkan pendidikan ke Algemene Midelbare School (AMS) setingkat SMA, tamat 1940, di Yogyakarta dan memilih jurusan A2 (Bahasa dan Sastra Barat). Dia akhirnya mempelajari bahasa-bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, dan Latin.

Pelajaran bahasa asing ini agaknya mengesankan bagi Hoegeng. Pada masa Perang Kemerdekaan, dia dapat menggunakan bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis dengan baik. Itulah modalnya dalam berkomunikasi dalam penugasan bila suatu saat diperlukan berinteraksi dengan tentara Belanda dan Sekutu.

Minatnya pada musik sudah muncul di Yogya, khususnya untuk genre Hawaian, yang kemudian hingga purnabakti masih dia geluti. Musik baginya tidak sekadar menyalurkan hobi, tetapi juga wahana mencari uang saku. Pendapatannya sebulan tujuh setengah gulden, cukup membantu tambahan kiriman orangtuanya.

Kursus Polisi

Setamat AMS, Hoegeng masuk Recht Hoge School (RHS), Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (Jakarta), kemudian masuk “Middelbare Opleiding School of voor Ambtenaren” (MOSVIA), sekolah untuk calon pejabat pemerintahan (pamong praja). Dia masuk RHS ini karena mau membidik Sekolah Komisaris Polisi di Sukabumi.

Kesenangannya “ngamen” seperti di Yogya, juga diteruskan ketika di Jakarta dengan kelompok musik Hawaian. Kelompok musik ini biasa mengisi acara di “Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij” (NIROM) —Radio Pemerintah Hindia Belanda, sejenis RRI sekarang. Ketika mengisi acara di NIROM ini Hoegeng menggunakan nama samaran “Hoegy” agar dapat diterima di kalangan Belanda.

Ketika Jepang masuk, RHS ditutup tahun 1942. Ia memutuskan pulang kampung, Pekalongan, temannya Totti Subianto yang sama-sama bermusik, juga balik ke Purwokerto. Hoegeng mengisi waktunya dengan berdagang kecil-kecilan, seperti telur dan buku-buku pelajaran bahasa Jepang. Teman dagangnya, Soeharjo Soebroto, yang kemudian menjadi polisi. Dia temannya itulah Hoegeng berkeliling berjualan dengan sepeda hingga ke Pati dan Semarang.

Selama “nganggur” di Pekalongan, terbuka lowongan bagi para pemuda pribumi, minimal MULO, memasuki kursus polisi yang diselenggarakan Kantor Polisi Karesidenan Pekalongan. Formasi yang dibutuhkan 11 orang, sesuai jumlah perwira polisi Belanda dan Indo ketika itu yang ditahan Jepang.

Hoegeng mendaftar. Dari 130 orang pelamar, Hoegeng termasuk salah seorang di antara 11 orang yang dibutuhkan. Keputusan mendaftar ini yang semula hanya mengisi waktu, ternyata akan menentukan jalan hidupnya di kemudian hari.

Setelah mengikuti kursus yang dipimpin E. Soemarto Soekardjo, polisi dengan pangkat tertinggi di zaman Belanda untuk kawasan Pekalongan, Komisaris Polisi I, ketika Jepang masuk. Dia diangkat Wakil Kepala Kepolisian Karesidenan Pekalongan yang dikepalai orang Jepang. Saat merdeka, Soemarto sempat menjabat Wakil Kepala Kepolisian Negara pada periode kepemimpinan Jenderal Pol. R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo (1945-1959).

Setamat Sekolah Polisi, Hoegeng di Pekalongan sempat gamang. Dia sempat berpikir mau menjadi hakim saja. Di tengah kegalauannya, tiba-tiba datang informasi dibukanya pendaftaran pendidikan untuk kader tinggi kepolisian. Hoegeng sebenarnya tak nafsu ikut pendidikan ini, namun Soemarto mendaftarkannya mengikuti tes yang diikutinya dengan setengah hati. Pengujinya 3 orang Jepang dan Soemarto sendiri. Peserta tes termasuk 11 alumnus Sekolah Polisi Pekalongan.

Meski ketika dites menjawab asal-asalan saja, ternyata Hoegeng termasuk salah seorang yang dinyatakan lulus tes. Bertepatan dengan itu di benaknya muncul tekad, tidak ada langkah mundur dari kepolisian. Dia harus masuk Sukabumi yang menyediakan pendidikan dua tingkat, pertama sebagai Kader Tinggi Polisi (Koto Kaisatsu Gakko). Kedua, Agen Polisi (Futsuka Kaisatsu). Kelompok kedua, terdiri atas alumni kursus polisi asal Pekalongan, seperti Hoegeng. Angkatan yang kedua, diperuntukkan bagi siswa yang sama sekali belum pernah mendapatkan pendidikan kepolisian.

Aksi tempeleng dari instruktur Jepang di Sukabumi merupakan yang paling berkesan bagi Hoegeng. Dia menghitung, sedikitnya 50 kali tangan Nippon itu melayang di tubuhnya. Namun ada satu pengelaman yang unik. Suatu saat dia mencarikan nasi bungkus buat teman-teman sesama siswa. Aksi ini dilakukan karena boleh jadi latihan yang begitu berat membuat para siswa mengalami perut keroncongan bila tengah malam tiba. Ada kesepakatan tak tertulis dan “rahasia”, teman yang sedang piket harus mencari nasi bungkus untuk teman-teman yang lapar.

Sekali waktu Hoegeng piket dan mengusahakan nasi bungkus buat teman-temannya. Tak dinyana belum lagi nasi bungkus diterima teman-temannya, Misumi, seorang instruktur asal Jepang, melakukan inspeksi. Saat memberi hormat, tangan Hoegeng entah bagaimana kejadiannya, kepala ikan terlihat oleh Misumi. Sudah dapat ditebak, tempeleng melayang lagi.

Usai pendidikan di Sukabumi, Hoegeng bersama tiga temannya, Sutrisno, Noto Darsono, dan Soenarto, ditempatkan di kantor Keamanan Semarang (Chiang Bu), membawahi unsur kepolisian dan kejaksaan.

Kepolisian saat itu meliputi tiga bidang tugas : Koto Kei Satsuka (DPKN, atau Intelkam sekarang), Keimu Ka (umum), dan Kazai Ka (ekonomi). Hoegeng dan Soenarto di Koto Kei Satsuka, Noto Darsono di Keimu Ka, dan Soetrisno di Keizai Kai Chiang Bu Kota Semarang. (Bersambung)