Mengenang Dr. H. Ichsan Yasin Limpo, SH, MH : Ketika Wartawan “Kepo” Terkecoh

Oleh : M. Dahlan Abubakar

SAYA tidak terlalu dekat-dekat amat dengan almarhum Dr. H. Ichsan Yasin Limpo (IYL), SH, MH, karena masing-masing memiliki kesibukan yang cukup sarat. Almarhum seorang politisi, sementara saya seorang akademisi yang jurnalis bin penulis. Namun, kedekatan saya meskipun masih bisa dihitung, sangat intens dan intim.

Interaksi pertama, ketika saya bersama beberapa teman diminta menulis mengenai kiprah gagasannya tentang pendidikan dasar di Kabupaten Gowa yang sempat menyentak dunia pendidikan di Indonesia. Buku ini sudah terbit, tetapi dalam versi yang yang sudah dikembangkan menjadi sebuah disertasi doktor di Unhas (2018) dengan judul “Politik Hukum Pendidikan Dasar dalam Sistem Pendidikan Nasional”.

Interaksi kedua, pada bulan April 2017, saya diajak menunaikan ibadah umrah ke Tanah Suci bersama satu rombongan dari Kabupaten Gowa. Dari Unhas ada empat orang, termasuk salah seorang tenaga sekuriti di Fakultas Hukum. Rombongan ini kalau tidak salah sekitar 20-an orang.

Menjelang satu atau dua bulan menjelang keberangkatan, seorang teman mengontak saya. Dia mengatakan, kalau Punggawa (sapaan IYL ketika mengikuti kontestasi pemilihan Gubernur Sulsel 2018-2023), mengajak saya ikut dalam rombongan umrah tersebut. Saya pun tidak langsung meng-iya-kan dan mengatakan, nanti dikabarkan balik.

Kesempatan itu saya gunakan untuk meminta pendapat orang tua di kampung dan adik saya yang dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram tentang ajakan itu. Bukan apa-apa, saya inikan orang yang tidak memiliki sekat dengan siapa pun. Sementara yang mengajak adalah seorang calon peserta kontestasi pemilihan gubernur. Jadi, saya menghindari jangan sampai saya terjebak dalam kegiatan politik praktis. Jangan sampai keikutsertaan saya dalam rombongan itu menggiring opini saya terlibat dalam dukung mendukung seseorang. Ujung-ujungnya, orang melihat dan menilai saya serba hitam putih.

Beberapa puluh hari setelah teman itu menelepon, saya juga tidak menelepon balik tentang hasil “istikharah” itu. Dua minggu menjelang keberangkatan, Dekan Fakultas Hukum Unhas, Adinda Prof. Dr. Farida Patittingi, SH, M.Hum menelepon saya. Beliau memberitahu agar segera menyetor paspor untuk berangkat umrah bersama dengan Punggawa.

“Prof. mengapa saya diajak ?,” saya bertanya sekadar ingin tahu saja.
Prof. Farida menjelaskan, bahwa saya diperlukan untuk ikut membantu Punggawa dalam melengkapi dan menyusun data hasil penelitiannya ke berbagai negara yang kelak akan dijadikan bahan disertasinya. Setelah mendengar penjelasan Prof. Farida, saya pun setuju bahwa saya hanya bermain pada tataran sebagai seorang akademisi, meski saya baru saja dua bulan menjalani masa purnabakti.

Saya pun menyetor paspor dan mengambil perlengkapan Umrah di Biro Perjalanan NRA di Jl. Andi Mappanyukki. Tanggal keberangkatan kalau tidak salah, 25 April ke Jakarta, menginap semalam, 26 April 2017 terbang ke Madinah dengan menggunakan pesawat Garuda Boeing 777. Ikut bersama penerbangan ini, Habib Riziek Shihab yang sempat berjabat tangan dengan teman-teman seperjalanan saya, saat akan memasuki pesawat di Bandara Soetta Cengkareng Banten, ke Madinah hari itu. Sejak penerbangan inilah, Habib Riziek Shihab tidak pernah pulang-pulang ke Indonesia.

Interaksi saya dengan IYL dan istrinya Hj. Novita Madonza Amu Ichsan bersama rombongan selama di Madinah dan Mekkah cukup menyejukkan. Saya sangat kagum dengan pasangan ini karena penampilannya sangat "humble" (sederhana), tidak seperti kebanyakan mantan pejabat lainnya.

Ketika tiba di Mekkah, tugas saya membereskan bahan untuk disertasi IYL mulai berjalan. Usai pertemuan di sebuah hotel bintang lima di depan Masjidil Haram, tempat kami menginap selama di Mekkah, yang kebetulan tidak sempat saya hadiri, satu rekaman hasil percakapan membahas disertasi itu pun beralih kepada saya untuk ditranskripsikan. Saya melaksanakan tugas ini ketika usai kembali dari menunaikan salat fardu dan umrah sunat serta tawaf di Masjidil Haram.
Saya kerja malam, seperti biasa dilakukan di rumah.

Kembali ke Indonesia, aktivitas saya membantu merampungkan bahan hasil penelitian di beberapa negara, antara lain, Australia, Jepang, Inggris, Finlandia, kian sering. Saya bersama dua orang teman seperjalanan umrah lainnya dari Unhas juga melakukan simulasi ujian promosi di salah satu hotel di Makassar. Seingat saya, dua kali kegiatan simulasi ini. Satu kali lainnya menyiapkan bahan di salah satu hotel di Jl. Pelita Raya.

Pada saat sibuk-sibuknya almarhum menyiapkan disertasinya, saya pun berlomba dengan waktu yang mendekati batas mati (deadline) menyelesaikan disertasi di Fakultas Ilmu Budaya Unhas. Kadang-kadang usai simulasi, kami bertukar pikiran mengenai persoalan yang dihadapi. Saya yang biasa menulis, jelas tidak mengalami hambatan yang berarti dengan penulisan disertasi, kecuali sedikit hasil analisis yang harus disesuaikan dengan koreksi (co)-promotor. Apalagi bahan dan hasil penelitian saya sudah siapkan jauh lebih awal. Sebab, datanya bersumber dari wacana berita dari tiga media yang berbeda tentang berita konflik Partai Golkar dianalisis berdasarkan analisis wacana kritis (critical discource analysis).

IYL mempertahankan disertasinya berjudul “Politik Hukum Pendidikan Dasar dalam Sistem Pendidikan Nasional” di Auditorium Amiruddin, minggu pertama Februari 2018. Upacara promosinya sangat meriah, terutama dihadiri dari kerabat keluarga dari Kabupaten Gowa.

Saya masih ingat dalam kesan-kesannya pascaujian promosi dia mengatakan, pernah diberitahu oleh salah seorang teman angkatannya suatu hari.
“Pak, hati-hati, saya lihat ada seorang wartawan yang selalu hadir setiap pagi mengintip aktivitasnya di fakultas. Dia kelihatannya hanya ingin mengetahui dan memastikan bahwa Bapak benar-benar kuliah,” kata temannya itu.

Almarhum menjawab enteng. “Biarlah saja dia ikuti aktivitas saya di kampus ini sampai capek. Saya kalau kuliah dimulai pukul 08.00, pukul 07.00 sudah duduk-duduk di kantin sambil sarapan, minum kopi, dan merokok,” tangkis almarhum.

Katanya lagi, “Saya duduk sarapan, minum kopi, dan merokok di kantin, memberi bahan penelitian baru. Saya bisa melihat perilaku mereka yang masuk keluar kantin. Jika yang keluar itu masih segar bugar, pasti ini mahasiswa S-1. Kalau yang baru keluar itu menyisakan bau minyak gosok atau balsem, pastilah itu mahasiswa S-2. Namun, jika jalannya sudah mulai megap-megap dan setengah berat, nah...ini teman saya, S-3,” bebernya panjang lebar sembari terkekeh, diikuti yang hadir.

Benar apa yang dikatakannya itu. Dia benar-benar aktif mengikuti kuliah, boleh jadi tidak seperti kebanyakan pejabat lainnya yang masih serba menimbulkan pertanyaan mampu meraih gelar doktor di tengah kesibukannya sebagai pejabat publik yang sangat penting. Orang selalu membandingkan dengan mahasiswa S-3 lainnya yang berdarah-darah mengerjakan beragam tugas makalah dan ini itu dari sang dosen, tetapi mulus meraih gelar doktor.
Namun, almarhum benar-benar menikmati kehidupan kemahasiswaannya yang terakhir dengan ‘enjoy’.

Pernah juga satu waktu, dia janjian dengan seorang dosen. Dia disuruh tunggu dan ternyata dosen itu lupa bahwa sudah janjian dengan almarhum. Pada saat, bertemu di hari lain, almarhum memberitahu kalau pada hari sebelum sudah menunggu sesuai waktu yang dijanjikan. Lucunya, dia tidak mau meminta tolong para dosen lain – yang tentu saja sangat senang membantunya – untuk memberitahu sang dosen tersebut bahwa ada janji bertemu dengan almarhum.

“Mungkin juga apa yang saya alami itu, pernah saya lakukan pada orang lain ketika saya jadi bupati,” ujar almarhum terkekeh dan hadirin yang memenuhi Auditorium Amiruddin tergelak tawa.

Menjelang yudisium kelulusan IYL, ada diskusi kecil mengenai predikat kelulusannya. Ada tim penguji yang menyoalkan tulisan di jurnal internasional hanya disyaratkan satu, tetapi IYL sudah kadung mengoleksi dua tulisan di jurnal internasional. Adik Dr. Hamdan Zoelva, SH, MH yang menjadi penguji eksternal menjelaskan dalam bincang-bincang dengan saya, “kalau disyaratkan hanya satu, tentu itu syarat minimal. Tetapi kalau promovendus berhasil mengoleksi dua tulisan di jurnal internasonal, itukan tambah bagus lagi”.

Akhirnya, IYL dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude. Tidak hanya itu, almarhum terpilih sebagai lulusan terbaik program doktor Universitas Hasanuddin pada Wisuda periode IV/2018. Mestinya, beliau diwisuda periode III Maret 2018, namun tidak sempat. Akhirnya diundurkan ke wisuda periode IV/2018 Juli (diundur karena bertepatan dengan Idul Fitri).

Waktu saat wisuda pun, almarhum tidak sempat hadir karena sedang berada di luar negeri. Padahal, pada saat itu, saya pun mengenakan toga kebesaran sebagai lulusan seperti almarhum jika hadir.

Kini, lelaki yang getol memperjuangkan dilenyapkan ujian nasional tersebut telah tiada. Dia berpulang ke haribaan Ilahi Rabbi, disaksikan oleh kalangan keluarga dalam jumlah yang terbatas, jauh dari kehadiran sahabat-sahabat dan handai tolannya yang tak terbilang banyaknya. Selamat Jalan sahabat, semoga IYL mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Aamiin. (***)