Yayasan Klenteng Kwan Kong, Fokus Mengatur Kegiatan Ibadah

SOROTMAKASSAR -- Makassar. Masih pagi hari, gedung berlantai enam yang berdiri megah di Jln Sulawesi No.172 Makassar ini sudah ramai dikunjungi. Sejumlah orang terlihat bergantian masuk ke dalam dan beberapa menit kemudian keluar dengan raut muka yang ceria. Mengamati dari luar, tampak kepulan asap dupa bertebaran dalam sebuah ruangan besar di lantai satu yang penuh dengan pernak pernik dan simbol-simbol kepercayaan bagi warga keturunan yang berasal dari sebuah suku di dataran Tiongkok.

Pada tembok depan di atas gerbang utama tertulis dengan huruf besar KLENTENG KWAN KONG. Beberapa waktu lalu, tepat pukul 09.30 pagi, SorotMakassar berkunjung ke rumah ibadah yang didominasi warna merah dan kuning emas. Sekitar setengah jam menunggu, orang nomor satu di kepengurusan yayasan yang mengelola klenteng ini pun tiba. Begitu masuk ke ruangan utama di lantai satu, ia langsung mengambil dupa dan membakarnya lalu melakukan kegiatan ritual.

Ketika disambangi selesai bersembahyang, pria berusia 80 tahun yang terlihat masih segar bugar dan punya nama lengkap Kusdiagung Gosal, dengan mengumbar senyum bersahabat langsung menyambut gembira dan mengajak ke ruang kerjanya di lantai dua bangunan tempat ibadah ini. Ia pun memulai percakapannya dengan menjelaskan sedikit apa yang diketahuinya tentang riwayat atau sejarah awal mula kehadiran klenteng hingga didirikan yayasan pengelolanya.

Pada abad 18, cerita lelaki kelahiran Makassar 1 Mei 1936 itu, banyak masyarakat Tionghoa dari suku Kwan Tong – Kwan Cao yang datang merantau ke Indonesia dan kemudian ke Makassar. Kwan Tong merupakan sebuah wilayah propinsi di dataran Tiongkok dan Kwan Cao adalah daerah kabupaten di propinsi termaksud. Mereka datang kesini dan umumnya bekerja sebagai tukang batu, tukang kayu, tukang besi dan pekerjaan kasar lainnya.

Di Makassar, warga suku Kwan Tong – Kwan Cao membuat pemukiman dan tinggal di Jln Sulawesi, Jln Timor, Jln Bali, Jln Sangir dan wilayah sekitarnya yang kemudian belakangan dikenal sebagai Kampung Cina atau Kawasan Pecinaan. Dalam menjalani aktivitas sehari-harinya, baik saat sedang bekerja hingga melakukan kegiatan di lingkungan tempat tinggal, kerap pula mereka mendapat hambatan-hambatan maupun kesusahan-kesusahan.

Kusdiagung mengakui, masyarakat suku Kwan Tong – Kwan Cao sejak dahulu kala diketahui sebagai pemuja Dewa Kwan Kong. Dan saat menerima cobaan atau mengalami hambatan maupun kesusahan, mereka pasti menyembah Dewa Kwan Kong untuk minta pertolongan. Di abad silam, warga suku Kwan Tong – Kwan Cao yang menetap di Makassar melakukan tradisi ritual tersebut dengan memanfaatkan sebidang tanah kosong di Jln Sulawesi – kini No.172.

“Dewa Kwan Kong bukanlah hanya sebuah simbol, tapi benar-benar nyata berwujudkan manusia yang pada zaman perang di Tiongkok dia merupakan salah seorang jenderal kebanggaan dari Raja Tiongkok – 600 tahun sebelum masehi. Jenderal yang dikenal jujur, pengasih dan penolong rakyat, juga dipandang cerdas serta memiliki pendidikan yang tinggi. Kesemua itulah yang membuat Dewa Kwan Kong banyak dipuja dan disembah publik Tionghoa di dataran Tiongkok”, kisahnya.
Para pemuja dewa ini membuat semacam gambar atau simbol dari Dewa Kwan Kong lalu dipasang di atas tanah itu, dan kegiatan ritual tiap hari berlangsung. Secara perlahan mereka pun membangun ruangan seadanya untuk tempat bersembahyang. Meski tempatnya sangat sederhana, namun tak terasa aktivitas beribadah terus berjalan sampai puluhan tahun lamanya, dan bangunan terus dikembangkan hingga akhirnya menjadi sebuah klenteng.

Rumah ibadah itu oleh seluruh umatnya kemudian diberi nama Klenteng Kwan Kong. Setelah sekitar 70 tahun berdiri dan digunakan bersembahyang, pada tahun 1898 bangunan klenteng ini untuk pertama kalinya direnovasi menjadi lebih megah. Pembangunan dapat terlaksana atas sumbangan maupun dukungan dana dari masyarakat Tionghoa khususnya suku Kwan Tong – Kwan Cao di Makassar yang tingkat kehidupannya semakin sejahtera.

Setiap hari di Klenteng Kwan Kong, banyak masyarakat Tionghoa dan warga keturunan secara pribadi datang berdoa dan menyampaikan keinginan mereka yang beraneka ragam. Saat bersembahyang, ada yang berdoa meminta pertolongan dan petunjuk dewa untuk kelangsungan serta kemajuan usahanya. Tak sedikit pula yang berdoa minta diberikan jodoh. Bahkan banyak juga yang minta petunjuk dewa terhadap niatnya membeli rumah atau tanah.

Selain padatnya kegiatan berdoa dari pribadi-pribadi umat, lanjut kakek dengan 9 orang cucu dan 2 orang cici, dalam setahun kurang lebih ada 30-an kegiatan sembahyang yang digelar di klenteng ini. Itu karena ada banyak dewa yang dipuja umat Tionghoa, dan setiap dewa mempunyai tata cara beribadah yang berbeda. Kepadatan tersebut yang kemudian menjadi dasar pertimbangan perlunya dibentuk yayasan dengan kepengurusan yang akan bertanggung jawab mengelola klenteng dan mengatur kegiatan beribadahnya.


Memimpin Selama 3 Periode

Menurut suami dari Ny Karunna Purnama, Yayasan Klenteng Kwan Kong didirikan menjelang dilaksanakannya renovasi pertama kali terhadap bangunan klenteng ini. Ayahnya termasuk sebagai salah seorang pendiri yayasan dan donatur dalam mendukung pendanaan kegiatan renovasi pada seratusan tahun silam. Kepengurusan yayasan yang jumlahnya sekitar 80 orang, dipilih oleh umat melalui kegiatan pemilihan dengan pengumpulan suara terbanyak.

“Saya tak banyak tahu siapa-siapa pengurus yayasan dalam sejumlah periode kepengurusan di masa lalu. Saya sendiri baru bergabung menjadi anggota pengurus yayasan pada tahun 1988. Nanti sekitar tahun 2006 saya mendapat kepercayaan umat untuk memimpin yayasan. Seluruh anggota pengurus yang dipilih umat, berasal dari berbagai profesi dan tingkat kesejahteraan yang berbeda-beda. Meski begitu, semua sama rata dan bahu membahu dalam menangani kegiatan ibadah”, polosnya.

Hingga kini, anak ketiga dari 10 bersaudara yang punya nama Tionghoa, Go Siu Kong, sudah memimpin selama 3 periode kepengurusan atau sekitar 10 tahun memangku jabatan Ketua Yayasan Klenteng Kwan Kong. Menakhodai periode kepengurusan saat ini, dia dibantu beberapa pengurus inti diantaranya Hendry Hoeijaya, Ir Riksan Rikchandra dan Jem Hamdan (Wakil Ketua), kemudian Miguel Dharmadjie (Sekretaris) dan Ardy Sucianto (Bendahara).

Ia mengakui tak pernah mengalami hambatan apapun selama bertahun-tahun memimpin yayasan yang orientasi kegiatannya lebih mengfokuskan kepada pengaturan kegiatan ibadah di Klenteng Kwan Kong. Di bidang sosial, kegiatan yayasan yang rutin digelar pada momen-momen tertentu hanya membantu kalangan umat dan masyarakat umum di daerah ini yang tergolong kurang mampu. Misalnya pada setiap bulan Oktober, yayasan selalu melakukan pembagian beras kepada fakir miskin.

“Beras itu berasal dari sumbangan umat Tionghoa yang tergolong mampu. Sumbangan beras dibawa ke klenteng dan diserahkan ke pengurus yayasan. Sebelum dibagikan ke fakir miskin terlebih dahulu disembahyangi bersama di klenteng”, tutur alumni SMA NAM YANG, sekolah Tionghoa Khatolik yang sempat beroperasi di Jln Sungai Pareman, Makassar sekitar tahun 1954-1957, namun akhirnya dilebur bergabung ke SMA Khatolik pada tahun 1958.

Berbagai bentuk aksi sosial lainnya yang menyentuh seluruh lapisan umat dan masyarakat luas juga rutin dilaksanakan Yayasan Klenteng Kwan Kong pada kegiatan perayaan ulang tahun Dewa Kwan Kong. Diantaranya adalah pembagian sesaji buat anak yatim piatu dan warga miskin di kota ini. Kemudian menjelang tahun baru Imlek, yayasan rutin membagikan dana untuk umat Tionghoa kurang mampu sehingga mereka bersama keluarganya dapat pula merayakan hajatan tahunan tersebut.

Ditanyakan apakah ada bantuan sosial dari yayasan buat kepentingan pribadi-pribadi umat yang mengalami kedukaan atau sedang sakit hingga mendapat musibah, Kusdiagung spontan menjawab dengan menggelengkan kepalanya. “Tidak ada bantuan seperti itu. Yayasan ini tidak mengurusi bantuan bagi kepentingan pribadi-pribadi. Umat yang mengalami kedukaan, sakit atau tertimpa musibah, ada perkumpulan dari marga masing-masing yang akan menanganinya. Di suku Kwan Tong – Kwan Cao tercatat ada 19 marga dengan perkumpulannya sendiri-sendiri”:, tegasnya lalu menambahkan bahwa dia sendiri dari marga ‘Go’.

Sumbangan Sukarela

Bentuk perhatian yayasan hanya diberikan kepada sesama anggota pengurus. Itu pun, misalnya kedukaan, yayasan hanya mengadakan upacara pelepasan saja. Kemudian untuk yang sedang dirawat karena sakit, pengurus akan datang membesuk bersangkutan. Jika pun ada bantuan atau sumbangan dana yang diberikan, jumlahnya tidak besar, seadanya saja. Ini karena keuangan yayasan hanya bersumber dari sumbangan sukarela dari umat yang dimasukkan ke celengan klenteng atau diserahkan langsung ke pengurus.

“Yayasan ini tidak memungut yuran dari umat. Sumber dana tetapnya hanya dari sumbangan sukarela yang diberikan umat. Dana yang masuk ke kas yayasan, peruntukan utamanya untuk membiayai operasional dan perawatan klenteng sehari-hari. Jika ada kelebihan, itulah yang digunakan membantu umat kurang mampu agar bisa merayakan tahun baru Imlek, dan juga memberikan sumbangan alakadar kepada anggota pengurus yang berduka atau sedang dirawat karena sakit”, ungkap Kusdiagung yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Yayasan Budi Luhur selaku induk organisasi bagi 12 yayasan Tionghoa di Makassar. (jw)

Top Hit

Politik

Pendidikan

Seputar Sulawesi

Opini

Berita Makassar

Kuliner Nusantara

Newsletter

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN