The Next JK

Oleh : Mulawarman (Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat dan Harian Surya)

Sejak memasuki tahun politik di awal  2018 lalu, di Sulawesi Selatan (Sulsel) dan di Jakarta, semakin sering terdengar pertanyaan, siapa tokoh masyarakat atau elit politik Sulsel berikutnya yang akan berada di elit politik nasional, setelah Jusuf Kalla (JK) ?
Berbagai forum diskusi digelar masyarakat Sulsel dengan judul The Next JK,  baik di di Makassar maupun di Jakarta. Paling anyar yg digelar Jenggala Center dua pekan lalu di kantor lembaga Think-thank itu di Jakarta.

Politik mengenal 5 tingkatan elit politik. Ilmuwan politik yg membagi tingkatan elit politik ini, di antaranya adalah Pareto, Mosca dan Suzan Keller yang membagi elit politik berdasar pengaruh politisi pada massa. 

Di Indonesia, ada Dr Mulyadi, dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, membagi tingkatan elit politik itu berdasar perjuangan sang elit mempertahan kekuasaannya  dan untuk naik kelas.

Elit politik tingkatan pertama, disebut Dr Mulyadi, elit politik penentu, kemudian elit politik penguasa, elit politik tandingan, elit politik antara, dan terakhir elit politik penghubung.

Pertanyaannya ialah posisi JK saat ini di elit mana ? Sebagai orang yang pernah lama bersama JK, saya mengetahui kalau selama 20 tahun terakhir ini, JK ada di 2 tingkatan elit politik itu sekaligus, yaitu elit politik penentu dan di elit politik penguasa. Perannya di dua posisi ini benar-benar dilakoninya dengan baik.

Saya pun bisa pastikan, JK akan tetap ingin berada di tingkat elit politik penentu atau berpengaruh ini. Posisi dan peran yg sebelumnya pada masa Orde Baru, diduduki dan dilakoni almarhum Jenderal  M Jusuf, tokoh teladan JK.

JK tidak akan pulang ke Sulsel atau Makassar, hanya untuk mengurusi 2 Masjid, Masjid Raya Makassar dan Masjid Al-Markaz atau bermain dengan cucu-cucunya, seperti kata JK ke media apabila ditanya apa yg akan dilakukannya, setelah tidak di kekuasaan.

Elit politik penentu atau elit berpengaruh, adalah elit politik puncak yg memiliki kendali pada 4 elit politik lainnya. Meski tidak tampak kasat mata, namun keberadaannya menguasai seluruh sumber daya politik. Elit politik yg bisa atau memiliki kemampuan mengolah dan menggerakkan aktor-aktor politik strategis yg ada di dalam invisible hand.

JK tidak ingin langsung lenyap dari hiruk pikuk politik dan jalannya sejarah bangsa ini, dan tak akan membiarkan dirinya menderita Post Power Syndrom. JK tetap ingin ikut dan menentukan arah jalannya sejarah. Untuk itu, JK dipastikan mempertahankan posisi Post Power di daerah asalnya Sulsel. 

JK, juga tidak mau seperti beberapa pendahulunya, Daryatmo mantan Wapres Soeharto atau Hamzah Haz mantan Wapres Megawati, dan puluhan mantan elit penguasa di negara ini yg gagal dan tidak mampu naik kelas, dari elit penguasa naik ke elit penentu berpengaruh.

Lalu mengapa JK lebih memilih mengokohkan posisi elit penentunya di Sulsel, ketimbang di Jakarta. Saya kira, karena JK sadar bahwa sejak berada di panggung politik nasional di awal reformasi, dirinya lupa membangun oligarki yang kuat dengan mengelola dan  mengendalikan para aktor ekonomi, elit politik dan kekuasaan yg dipegangnya.

JK juga sangat sadar, kalau dirinya tidak memiliki sumber daya politik formal yg bisa dikelolanya untuk mengendalikan aktor elit politik lainnya di level nasional. JK tidak memiliki kendaraan untuk ditumpanginya mengikuti dan menentukan arah jalannya sejarah bangsa ini. JK tidak memiliki Parpol seperti halnya Megawati, Prabowo,  Surya Paloh dan beberapa tokoh lainnya. 

Karena itu, JK rela ditinggalkan sekitar 15 juta pendukungnya di Indonesia Timur yg memenangkannya di Pilpres 2014 lalu. JK rela membuang sikap  kenegarawanannya di Pilpres 2019 dengan memilih bersikap seperti politisi kita pada umumnya, memilih bersikap partisan pada satu kandidat Capres.

Sikap JK membuang sikap kenegarawanannya itu, kemudian diikuti restu JK ke kerabatnya yang diwakili Erwin Aksa ponakannya henkang dari kubu kandidat Capres dimana JK jadi partisan. Ini jelas menunjukkan ke kita, bahwa JK memilih menjadi elit penentu dan berpengaruh di daerah asalnya.

Di posisi demikian, JK dipastikan sulit tergantikan atau memberi kita ruang untuk bisa bertanya, siapa JK berikutnya dari Sulsel ? Karena untuk berada di tingkatan elit penentu dan berpengaruh itu, seorang politisi tak hanya pernah menjadi elit penguasa, tetapi juga sang politisi  wajib memiliki sumber daya politik dan ekonomi.

Menjadi elit politik penentu, seorang politisi yg harus pernah jadi elit politik penguasa, dan mampu mengelola kekuasaan yg pernah di kendalikannya untuk menjadi sumber daya politiknya. Kemudian mampu mengolah aktor-aktornya untuk terus bergerak mencapai  pucuk-pucuk kekuasan dan dikendalikannya.

Banyak tokoh-tokoh masyarakat Sulsel yg disebut-sebut di forum-forum diskusi yang bertema The Next JK di Jakarta dan Makassar, bisa menjadi JK berikutnya. Tetapi tokoh-tokoh itu, hanya bisa menjadi elit penguasa, bukan elit penguasa dan elit penentu sekaligus. 

Siapa ?

Tokoh yg disebut-sebut The Next JK itu, untuk di posisi elit penguasa sekaligus di elit penentu berpengaruh adalah Syafruddin mantan Wakapolri dan kini Menpan, lalu Amran Sulaiman Menteri Pertanian, kemudian Syahrul Yasin Limpo mantan Gubernur Sulsel, menyusul Nurdin Abdullah Gubernur Sulsel.

Syafruddin sepertinya memang tokoh yang  disiapkan oleh JK untuk menggantikannya di elit kekuasaan, bukan di elit penentu berpengaruh. Tetapi oleh orang-orang dekat Syafruddin menafsirkan kalau Syafruddin disiapkan JK di 2 tingkatan elit politik, penguasa dan penentu.

Syafruddin tidak punya modal untuk duduk jadi elit politik penentu berpengaruh di Sulsel menggantikan JK. Yakni modal sumber daya politik dan sumber daya ekonomi. Mantan ajudan JK ini, tidak begitu dikenal di masyarakat Susel, sehingga otomatis sosoknya tidak dekat dengan rakyat Sulsel. Meski belakangan diupayakan didekat-dekatkan dengan masyarakat Sulsel oleh JK, dengan menjadikan Syafruddin Ketua Wali Amanah Unhas.

Tokoh kedua, Amran Sulaiman yg memiliki potensi besar berada di elit politik penguasa dan penentu di Sulsel. Selain memiliki sumber daya ekonomi yg cukup, Amran Sulaiman langsung mencari sumber daya politik, karena sadar dirinya orang baru di politik. Hasilnya, Amran Sulaiman berhasil mengantar Nurdin Abdullah dan Sudirman Sulaiman adik kandungnya menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel, dan keduanya kini dibawah kendalinya.

Masalah yg bisa menghambatnya Amran Sulaiman naik kelas dari elit politik penguasa ke kelas elit politik penentu, hanya jika Jokowi terpilih kembali, dan Amran mau berbaikan atau membangun komunikasi dengan JK. 

Tokoh ketiga, adalah Syahrul Yasin Limpo yang sesungguhnya bisa naik kelas dari elit politik penguasa di Sulsel naik elit politik penguasa di Jakarta kemudian ke kelas elit penentu. Karena Syahrul, memiliki sumber daya politik di Sulsel yang bisa digerakkannya, untuk naik kelas ke kelas elit penguasa di Jakarta.

Karena tidak mendapat dukungan dari JK, Syahrul Yasin Limpo mampunya hanya jadi elit politik di Partai Nasdem, dan terus berupaya mencoba jadi elit penguasa di Jakarta.

Tokoh keempat yang sering disebut, bisa jadi JK berikutnya di elit penentu di Sulsel, adalah Nurdin Abdullah Gubernur Sulsel yg sesungguhnya tidak memiliki 2 modal seorang elit penentu.

Nurdin Abdullah tidak memiki modal sumber daya politik, apalagi sumber daya ekonomi. Mantan Bupati Bantaeng ini, hanya bermodalkan pencitraan. Terbukti saat ini, Nurdin Abdullah saat ini sebagai gubernur tetapi dibawah kendali Amran Sulaiman cukongnya di Pilkada kemarin, terbukti benturan mereka berdua, dalam penentuan Sekda Sulsel dan penjabat Walikota Makassar. 

Sementara elit penguasa, acap kali disebut di forum-forum diskusi, di ruang-ruang publik dan media di Jakarta maupun di Sulsel, antara lain Rektor Unhas, Erwin Aksa, Said Didu, Andi Mattalata, Nurdin Halid, Abraham Samad, Alwi Hamu, Iskandar Mandji, Rizal Mallarangeng, Anis Matta, Jafar Hafsah, Prof Paturusi, Syamsul Bahri, Ibnu Munzir, Prof Faizal Abdullah, Zulfikar Mocthar,  Prof Taruna Ikrar, dr Zainal Abidin mantan Ketua IDI, Andi Rukman Makkarumpa, Akbar Faisal, Kamrusamad, dan yang termuda drg Arief Rosyid. 

Tokoh-tokoh yang dianggap tepat dan mumpuni jadi elit penguasa atau duduk di Kabinet Presiden hasil Pilpres 2019, saya tidak akan kupas profil dan mengulitinya tepat atau tidak mereka duduk di kabinet. Karena saya yakin, JK sebagai elit penentu berpengaruh di Sulsel akan dimintai masukan oleh Presiden hasil Pilpres 2019, siapapun itu yang terpilih.

Contoh, sebelum Jokowi mengumumkan kabinetnya di tahun 2014 lalu, seperti dikutip majalah Tempo, Megawati Ketum PDIP meminta Jokowi untuk bicara dengan JK soal Amran Sulaiman yg akan dilantik jadi Menteri Pertanian, karena diketahui oleh Megawati, JK tidak mengenal Amran Sulaiman.

Sama seperti ketika Aksa Mahmud membawa Nurdin Abdullah ke  Megawati beberapa bulan sebelum Pilkada Sulsel. Putri Bung Karno ini, masih bertanya ke Aksa Mahmud  apakah Nurdin Abdullah dekat dengan JK, meski Megawati tahu persis kalau Aksa Mahmud ipar dari JK.

Lalu, siapa yang akan menjadi The Next JK ? Kita lihat saja nanti !!!

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN