Gempa Mamuju, Mengulang 37 Tahun Silam

Oleh : M. Dahlan Abubakar (Wartawan Senior / Tokoh Pers Sulawesi Selatan)

SEKITAR pukul 02.28.17 Wita, 15 Januari 2021, Kota Mamuju Sulawesi Barat dan sekitarnya digoncang gempa bumi berkekuatan 6,2 pada skala richter. Gempa ini sebenarnya merupakan susulan dari gempa pertama pada siang harinya. Sekitar pukul 14.35 Wita, Kamis (14/01/2021), gempa pendahuluan (“foreshock”) dengan magnitudo 5,9 menggoyang Mamuju dan sekitarnya yang membuat para karyawan berhamburan lari keluar dari kantor di Kota Mamuju sebagaimana yang tertayang di layar kaca.

Episentrum (titik pada permukaan bumi yang terletak tegak lurus di atas pusat gempa yang ada di dalam bumi) gempa diperkirakan berada di darat 6 km arah barat laut Majene dengan kedalaman atau hiposentrum (pusat gempa bumi di bawah permukaan bumi) 10 km. Data terkini menyebutkan, 34 orang diketahui tewas dalam musibah tersebut.

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (MKG) Daryono mengatakan seperti dirilis kompas.com, gempa tersebut bersumber dari : Mamuju-Majene “Thrust” (daya tolak/dorong) dan perlu diwaspadai karena bisa naik menjadi 7.0 dengan laju geser 2 mm per tahun.

Menilik lokasi dan kedalamannya, gempa ini termasuk “shallow crustal earthquake” (gempa dangkal) yang hiposentrumnya kurang dari 60 km dari permukaan laut, gempa ini dapat menimbulkan kerusakan besar. Sesar Mamuju-Majene cukup berdekatan dengan Sesar Palucoro yang ada di sebelah utara, Sulawesi Tengah, dan menimbulkan gempa dan tsunami dahsyat pada 28 September 2018.

Majene dan Mamuju memiliki riwayat kegempaan yang patut dicatat. Pada 23 Februari 1969, gempa bumi terjadi di Majene yang disertai tsunami setinggi 10 m dan menewaskan 63 orang. Lima belas tahun kemudian, 8 Januari 1984 tepatnya, gempa juga menggoncang Mamuju, ketika kabupaten itu dipimpin Atiek Sutedja, seorang perwira menengah TNI dari kesatuan pasukan elite Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sangat melegenda itu.

Pada tanggal 8 Januari 1984, Mamuju diterjang gempa pertama kali yang tercatat. Kini, 37 tahun kemudian, gempa terulang dan menelan korban jiwa, yang sebenarnya dapat dihindari jika ada peringatan dini karena pada siang hari terjadi gempa pendahuluan. Gempa susulan yang terjadi kemudian bertepatan dengan saat warga sedang tidur. Korban tewas belum dapat dipastikan karena boleh jadi masih ada yang tertimbun reruntuhan gedung, terutama mereka yang tinggal di rumah gedongan.

Kenangan Gempa 1984

Prof. Dr. A.Amiruddin baru akan merayakan satu tahun kepemimpinannya ketika 8 Januari 1984 gempa bumi menggoncang Kota Mamuju. Tidak banyak kerusakaan kala itu karena Kota Mamuju sendiri masih terisolasi dan belum banyak pembangunan fisik di Kota Mamuju yang belum terbuka jalur komunikasi darat yang memadai. Jalan darat poros Majene-Mamuju pada masa itu selalu diistilahkan oleh para pengemudi/penumpang mobil “bernapas dalam lumpur”. Istilah ini layak diberikan karena ruas jalan poros ini memang sedang diperlebar. Akibatnya, harus ada bagian gunung yang “dikikis”. Jalan udara memang sudah terbuka, dilayani pesawat twin otter Merpati Nusantara secara berkala.

Tanggal 9 Januari, sehari setelah gempa terjadi, Pak Amir – panggilan akrab almarhum Prof.Amiruddin – langsung menuju Mamuju menggunakan jalan darat. Ya, tentu saja harus menaklukkan medan berlumpur yang warna merah di poros Majene-Mamuju itu. Wartawan “Pedoman Rakyat” (PR) tidak sempat ikut dalam rombongan Gubernur Sulsel itu yang hanya sempat membawa wartawan, di antaranya, Aidir Amin Daud dari Harian “Fajar”.

Pagi hari 9 Januari itu, beberapa jam setelah rombongan Gubernur Sulsel berangkat, saya muncul di kantor Jl. Andi Mappanyukki. Saya berjalan runduk tepat di pintu goyang yang menghubungkan ruang sekretaris redaksi dengan pemimpin redaksi berharap tak dilihat oleh orang yang ada di ruang dalam sebelah kiri. Taktik saya ini dilakukan agar tidak dilihat oleh Pemimpin Redaksi PR M. Basir yang duduk di pojok, di belakang meja kerjanya yang ditumpuki banyak kertas dan naskah.

“Zendy, siapa yang masuk itu ?,” terdengar suara Pak Basir membuyarkan semua siasat jalan runduk barusan. Saya belum sempat duduk di kursi di depannya saat Zendy menjawab pertanyaan Pak Basir. “Dahlan, Pak,” jawab Zendy cukup singkat dan padat. “Suruh masuk!,” titah Pak Basir.

Saya bangun, berjalan mendorong pintu goyang, masuk dan duduk diam di depan beliau sambil menunggu perintah apa gerangan yang akan diberikan pagi hari itu.

“Sekarang kau ke Mamuju. Rombongan Gubernur Amiruddin sudah berangkat tadi pagi, tidak ada wartawan “Pedoman Rakyat” dalam rombongan tersebut,” kata Pak Basir sembari menyerahkan secarik kas bon dari kertas yang nyaris kehilangan warna aslinya.
“Kau bawa ke Pak Pali dan segera ke Mamuju,” perintahnya lagi diikuti saya bangun dari kursi kayu di depannya.

Ingin juga saya menyelipkan satu pertanyaan. “Saya pakai apa ke Mamuju ?”. Ini pertanyaan konyol jika diungkapkan. Paling-paling Pak Basir akan mengatakan, “Memang kau mau jalan kaki..????”. Ha..ha..

Saya ke rumah setelah mengantongi biaya perjalanan dan segala sesuatunya dari Pak Pali, panggilan akrab Pak Madjid Pali, Bagian Keuangan “PR”. Waktu itu saya tinggal di Jl. Kandea dan sudah mengendarai sepeda motor Yamaha merah tahun 1970.

Siang hari saya meluncur ke Terminal Panaikang, lokasi Mal Nipah sekarang. Saya menumpang bus Pipos menuju Majene dan tiba di kota yang berjarak 301 km dari Kota Makassar tersebut. Kota Majene pertama saya sambangi tahun 1976, saat melakukan penelitian “Inventarisasi Alat Musik Sulawesi Selatan”.

Menjelang tengah malam saya tiba di kota ini. Penumpang jurusan Mamuju langsung “ditadah” oleh mobil tiga perempat kapasitas 22 orang yang mengantar saya ke kota yang digasak gempa itu. Mobil ini “mengambil napas” beberapa saat sebelum memulai perjalanan, menaklukkan medan jalan yang “tidak ramah” antara Majene-Mamuju.

Saya sudah terlempar pulas di kursi saat mobil terasa berjalan dan tergoncang-goncang. Nanti saya terbangun ketika mobil harus naik rakit di Sungai Malunda menjelang pagi.

Setelah menaklukkan jalan berlumpur yang liat, mobil akhirnya sampai di Tapalang, beberapa kilometer sebelum memasuki Kota Mamuju. Ketika mobil bergerak lagi, tepat di pendakian sebelum menuju puncak dari arah Kota Mamuju, saya mendengar raungan bunyi sirene mobil Patroli Jalan Raya (PJR).

“Wow.. rombongan Gubernur Sulsel sudah kembali dari Mamuju,” saya membatin setelah melihat konvoi kendaraan dari depan dan kemudian menengok, mengantar rombongan dengan pandangan setelah melewati bus yang saya tumpangi dalam posisi menepi.

Jadilah saya seorang diri meliput “sisa-sisa” informasi kunjungan Gubernur Sulsel di Kota Mamuju. Tetapi saya beruntung karena akan lebih dulu mengirim berita (melalui telegram yang batasnya pukul 18.00 tiap hari) melalui Kantor Telepon dan Telegram Mamuju. Tentu saja, berita saya akan lebih dulu dari teman-teman yang ikut rombongan Gubernur yang sedang dalam perjalanan pulang.

Saya akhirnya memutuskan tinggal beberapa hari di Mamuju. Apatah lagi Pak Atiek Sutedja saya sudah kenal baik setelah bersama-sama menemani kunjungan perdananya ke Kalumpang di kaki Gunung Sandapan setahun sebelumnya. Saat itu rombongan kami melawan arus, mengarungi Sungai Karama dari arah berlawanan. Perjalanan sehari berakhir dengan harus singgah menginap di pondok sawah penduduk karena keburu malam.

Selama di Mamuju aktivitas saya mendampingi Pak Atiek yang melakukan ‘blusukan’, menyambangi tenda-tenda penduduk yang “mengungsi” ke tanah kosong dari rumah mereka pada malam hari. Cukup menarik juga jadi bahan tulisan berkadar “human interest“. Melupakan sulitnya perjalanan dari Makassar ke Mamuju.

Setiap sore hari -- sebelum kembali ke Makassar setelah seminggu meliput -- saya selalu ke Kantor Telepon dan Telegrap Mamuju. Soalnya, harus mengirim berita tidak boleh lewat pukul 18.00 Wita. Kantor itu juga punya “deadline” seperti juga batas waktu wartawan boleh memasukkan berita. (*)

WWW.SOROTMAKASSAR.COM

Taman Telkomas, Jln Satelit IV No. 64 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telp/HP : 0411-580918, 0811448368, 082280008368.

Jln Sultan Hasanuddin No. 32 (Kembang Djawa) Makassar, 
Sulawesi Selatan. Telp/Hp : 0811446911. 

Copyright © 2018 SOROTMAKASSAR.COM. All Rights Reserved.

REDAKSIDISCLAIMER | IKLAN